Aku
adalah Ahmad tanpa mim.
Hawra Insiyyah:
salaam
ustad..Allahumma shalli ala muhammad wa aali muhammad wa ajjil faraja al mahdi
wa al masih ba’dah..
afwan ust..mau
mnanyakan sabda-sabda suci ini :
=>
wallahi,kami/ahl bayt adalah asmaul husna.
=> aku adalah
ahmad tanpa mim.
mohon di
syarahi,sebab bagi awam ini,ucapan suci itu masih terlampau agung utuk di
fahami..
…o iya ustd,kalo
tidak keberatan ke dua ucapan suci tersebut sumber rujukannya apa ya?sebab
slama ini hanya dengar-dengar di ta’lim-a’lim saja,afwan Ustad.
kalo di
ijinkan,bolehkah mengcopi catatanan antum tadz?
smga smua ini
menjadi amal shalih bagi ustad yang bisa membuat sayidah zahra
tersenyum…bihubbi zahra…allahumma shalli ala muhammad wa aali muhammad
Sinar
Agama :
Bismillah. Salam.
Peringatan:
(1). Saya sangat
tidak menganjurkan bagi siapapun untuk membaca tulisan ini.
(2). Yang saya tulis
ini adalah apa yang ada dalam buku-buku Irfan dan ke-Shufian yang sesungguhnya,
bukan yang sok shufi.
(3). Tidak
mempercayai Wahdatu al-Wujud tidaklah haram dan apalagi masuk neraka. Jadi,
kalau tidak paham, maka tinggalkan saja.
(4). Saya hanya
mengangkat dari kitab-kitab, termasuk argumentasinya. Sementara saya sendiri,
percaya atau tidak, maka hal itu adalah urusan saya secara pribadi dengan
Tuhan. Jadi, tulisan ini tidak menggambarkan kepercayaan saya.
(5). Saya hanya
menuliskan sebagai kewajiban menjawab pertanyaan, hingga kalau ilmu ini adalah
benar menurut Allah, maka saya hanya mengharapkan Ridha dan PahalaNya.
(6). Saya sangat
tidak rela tulisan ini dan begitu pula catatan lainnya tentang Irfan (bag: 1-7
dst), dijadikan trendi-trendian hingga dicuplak cuplik dijadikan status untuk
bergaya-gaya, seperti yang saya lihat di beberapa status yang menulis secara
nyentrik, masalah-masalah Filsafat, walaupun untuk membuat orang lain berfikir
dan memancing perhatian dalam artian positip.
(7). Dalam tulisan
ini, kata ganti Nya dengan N besar, diperuntukkan untuk Nama-nama Husna Allah,
dari Nama Allah itu sendiri sampai kepada Nama Sifat Zat dan Perbuatan. Jadi,
untuk menentukan apakah Nya itu sebagai katan ganti Allah atau seluruh Nama
HusanNya, harus dilihat kontek kalimatnya.
(8). Tulisan ini,
kalau benar menurut Allah swt, hanyalah sebagai penjelasan terhadap Insan
Kamil. Jadi, jangan coba-coba mengkhayal untuk mencapainya.
(9). Mencapai
insan-kamil, diperlukan setidaknya seribu maqam dimana maqam ke tiganya saja
sudah harus bersih dari dosa. Jadi, yang akan sampai ke maqam yang tertulis
dalam jawaban saya ini, adalah orang yang telah meninggalkan haram, makruh dan
kesukaan pada: halal, karamat, kasyaf, ilmu, surga, al-lauhu al-mahfuzh,
akal-satu dan fana’. Jadi, bukan dengan dzikir, seperti Allah-Allah, Huwa-Huwa
atau Hu-Hu dan seterusnya.
Jawaban
Pertanyaan:
(1). Kalimat pertama
adalah hadits dari maksumin as.: “Demi Allah kami adalah Nama-nama husna/baik
Allah”. Terdapat di berbagai tempat:
al-Kafi: 1: 144
(babu al-nawadir);
Mustadraku
al-wasail: 5: 230;
Mustadraku Safinatu
al-Bihar: 2: 391;
Biharu al-Anwar: 91:
6;
Tafsir al-‘Ayyasyi :
2: 42;
Tafsir al-Shafi: 1:
114, 2:256;
Tafsir al-Amtsal: 5:
307; dll.
(2). Dalam catatan
yang telah lalu tentang Wahdatul Wujud bag: 6 tentang dalil Naqlinya, telah
diterangkan bahwa al-Asmau al-Husna atau Nama-nama Baik Tuhan, adalah suatu
keberadaan, bukan kata-kata. Karena Yang Melindungi dari Nama “Pelindung”
adalah Maknanya, bukan kata-katanya. Begitu pula dengan Nama-nama yang lainnya
seperti “Pencipta”, “Pemberi Rejeki”, “Penyembuh”, “Yang Melihat”, “Yang
Mendengar”…dst.
(3). Nama-nama Tuhan
itu adalah Tajalli dari Maqom Tertinggi, Tergelap, Tertidak Tersentuh, Ter-Maha
Ghaib, Ghaibnya Ke-Ghaiban (Ghaibu al-Ghuyub), yaitu maqam “Huwa” atau “Dia”.
Maqam ini tidak
dibahas sama sekali dalam Irfan. Jadi, kalau kita mengatakan Tuhan, maka yang dimaksud
adalah Nama-nama itu. Jadi, pada hakikatnya Nama-nama itu dalam Irfan adalah
Tajalli dari Tuhan Yang Huwa, bukan Tuhan Yang Huwa itu sendiri. Karena Yang
Huwa ini, sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan suluk serta kasyaf. Jadi,
maqam ini tidak dibahas lagi.
(4). “Ada” atau
“Satu Ada” atau “Wahdatu al-Wujud” yang dibahas dalam Irfan, adalah Tuhan yang
terjangkau dengan akal (walau hanya maknanya, bukan penyelimutannya) ini. Yakni
Nama-nama Husna tersebut, bukan “Huwa”.
(5). Dengan
pembuktian akal dan suluk serta kasyaf, “Ada” adalah hanya “Satu” dan Dia
adalah Tuhan, sebagaimana sudah dibahas di catatan-catatan sebelumnya. Dan
Tuhan di sini, sekali lagi, bukan Huwa.
(6). Nama-nama baik
ini dibagi tiga, “Nama Zat”, “Nama Sifat Zat” dan “Nama Sifat Perbuatan”. Yang
pertama adalah “Nama Allah”, yang ke dua adalah Nama-nama dari sifat-sifatNya
yang dimilikinya tanpa dihubungkan dengan yang lainnya, seperti Nama Ada,
Qidam, Baqa’, Hidup, Kuasa, Ilmu, Murid ..dst, sedang yang ke tiga adalah
Nama-nama yang dimilikiNya setelah Dia melakukan sesuatu atau dipahami setelah
menghubungkanNya dengan selainNya, seperti Nama Pencipta, Pemberi Rejeki,
Pengampun…dst.
(7). Dalam istilah
Irfan, setelah maqom Huwa itu, adalah maqam Ahadiyyah (Satu yang Esa atau tidak
terangkap), dan setelah Ahadiyyah adalah maqam Wahidiyyah (Satu yang
Kesatuan/rangkapan).
(8). Ketiga maqam di
atas itu adalah Maqam Ke-Tuhanan yang, biasanya tidak disebut Tajalli,
sekalipun pada hakikakatnya adalah Tajalli. Yakni Allah adalah Tajalli Huwa;
Nama-nama Sifat Zat adalah Tajalli Nama Allah; Dan Nama-nama Sifat Perbuatan
adalah Tajalli dari Nama Sifat Zat.
(9). Tajalli Tuhan
dimulai dari Akal-satu, lalu melaui Akal-Satu, Tuhan meneruskan TajalliNya ke
Akal-Dua .dst sampai ke Barzakh dan Alam Materi, sebagaimana sudah sering
dijelaskan.
(10). Akal disebut
juga Jabarut, dan Barzakh sebagai Malakut, sedang Materi disebut Nasut. Akal
dan Barzakh juga disebut al-‘Alamu al-Amr (sekali jadi, non materi dan non
proses/perubahan waktu), sedang Alam Materi disebut al-‘Alamu al-Khalq
(pengkadaran, pembentukan, pembatasan). Sekalipun, sekali lagi, bahwa sejak
dari Akal-Satu itupun sudah al-Khalq atau Pembatasan. Akan tetapi karena susah
dijangkau maka al-Khalq (bukan ciptaan sebagaimana maklum) itu diistilahkan
untuk Alam Materi.
(11). Karena “Ada”
hanya satu, maka “Ada” yang membentang dari Nama Allah sampai ke Alam Materi
ini, disebut al-Nafasu al-Rahmani. Yakni Nafas Ke-Maha Kasih-an. Diserupakan
dengan nafas yang belum membentuk huruf-huruf. Sementara Nama Allah sampai ke
Alam Materi disebut dengan al-Huruf atau al-Kalimat. Karena Sang Nafas/wujud
telah membentuk huruf dan kalimat yang, dalam hal ini adalah makna Allah sampai
ke Alam Materi itu, bukan kata-katanya, sebagaimana maklum.
(12). Dalam catatan
yang telah lalu tentang Wahdatu al-Wujud ini, sudah diterangkan bahwa pesuluk
memiliki 4 perjalanan:
(a) Dari makhluk ke
Khaliq, yakni dengan meninggalkan maksiat, makruh, suka dunia halal, suka
karamat, suka kasyaf, suka Barzakh, suka surga, suka Akal-Terakhir atau
al-Lauhu al-Mahfuzh, suka .dst sampai meninggalkan kesukaan pada Akal-Akhir,
hingga Fana’ dan meninggalkan kerasaan Fana’nya.
Ketika sudah sampai
di Fana’nya Fana’ ini, maka seorang pesuluk sudah meninggalkan selain Tuhan dan
sudah sampai kepada Maqam Kebodohan Mutlak (Zhaluman Jahulan yang dipujikan
kepada manusia oleh Tuhan dalam Qur an). Hal itu karena yang dihadapinya
sekarang hanyalah Tuhan Yang Tidak Terbatas yang, karena ke-tidak TerbatasanNya
membuatnya tidak tahu sama sekali tentangNya.
Karena kalau Tuhan
itu Maha Luas, maka bisa diketahui walau sedikit. Tapi ketika Tuhan itu Tidak
Terbatas, maka tidak ada kata sedikit yang bisa diketahui. Karena kalau ada
sedikitNya, maka ada BanyakNya alias LuasNya. Dan kalau ada LuasNya, maka pasti
ada BatasanNya,sekalipun Maha Luas. Jadi, karena lawan Tidak Terbatas adalah
terbatas, bukan sedikit, maka Tuhan tidak lagi bisa diketahui olehnya.
Sementara kita-kita yang merasa tahu ini, adalah kebodohan di atas kebodohan.
(b) Dari Khaliq ke
Khaliq, yakni setelah seseorang tidak melihat dan menyukai apapun sekalipun
dirinya dan kefana’annya, dan hanya melihat dan merasakan AdaNya, maka sekarang
ia bisa melanglangiNya, dimulai dari Nama-nama Sifat PerbuatanNya sampai ke
Nama ZatNya, sesuai kemampuannya.
Masing-masing salik
atau pesuluk, dalam hal ini memiliki kemampuannya sendiri-sendiri. Maka sesuai
dengan kemampuannya itulah seseorang bisa menyentuh berapa Nama dan sejauh apa
dari masing-masing Nama yang disentuhnya itu.
(c) Dari Khaliq ke
Makhluk, yakni setelah seseorang melanglangi Nama-namaNya, maka sesuai dengan
KehendakNya, ia akan turun lagi ke selainNya. Namun, turunnya sekarang ini
sudah bukan dirinya lagi, tapi sebagai alatNya. Kalau Fana’ adalah maqam
“Mabuk” dan “Pingsan” (Mahwun), maka maqam ke tiga ini adalah maqam “Sadar
Setelah Pingsan” atau “Siuman” (Shahwun). Namun, kesadarannya sudah bukan
kesadaran sebelum Fana’ lagi, karena waktu itu, ia sendirilah yang melakukan
suluk, sendang sekarang ia sudah menjadi alatNya, MataNya, TanganNya,KakiNya,
MulutNya dst.
(d) Dari Makhluk ke Khaliq bersama
makhluq, yakni setelah seseorang melakukan perjalanan ke tiga ini, baginya
menjadi jelas apa saja tentang rahasia keberadaan ini (bc: tajalli). Oleh
karenanya dia tahu juga rahasia agama dan mengapanya serta mengapa pada
masing-masing ajarannya.
Lalu dalam
perjalanan ke empat ini, ia dengan MauNya, mengajak semua selainNya kepadaNya.
Inilah yang dalam istilah dikatakan sebagai Maqam Kenabian. Jadi, semua pesuluk
yang sampai ke maqam ini, maka ia, secara batin, sudah menempati posisi maqam
kenabian. Namun, siapa yang akan ditunjuk menjadi Rasul olehNya, artinya yang
akan dikehendaki sebagai RasulNya, maka tergantung kepada Mau dan IradahNya.
Tentu saja, akan
disesuaikan dengan semua kondisinya. Oleh karena itu, yang buta, cacat, tidak
baiknya turunannya dst tidak akan diangkat menjadi RasulNya, karena akan
membuat orang lain lari dan menjauh darinya. Hal mana yang seperti ini,
sekalipun kalau Allah mengazab mereka tetap Adil dan Bijaksana, akan tetapi
Tuhan, akan keluar dari sifat Lembutnya (Lathif) dimana maknanya adalah
memudahkan hambaNya untuk taat dan menyulitkannya untuk maksiat.
(13). Salah satu
konsep filsafatnya non materi, adalah 1+1=1. Hal itu karena non materi tidak
lagi dibatasi dengan volume yang merupakan konsekwensi dari kebendaan.
(14). Pesuluk atau
Salik yang sampai kepada wujud-wujud non materi itu, maka mereka, kalau sudah
sempurnya, akan menyatu dan menjadi si yang dicapainya itu. Kalau Barzakh, maka
ia akan menjadi Barzakh itu, begitu pula kalau Akal-Akhir atau Akal-Satu.
(15). Pesuluk yang
sampai ke maqam Nama-nama, juga demikian. Mereka akan menyatu dengan Nama-nama
itu sesuai kemampuannya sendiri-sendiri, baik dari sisi jumlahnya atau keluasan
masing-masingnya.
(16). Dengan
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa maqam-maqam setelah Fana’ adalah
Wahidiyyah (Sifat Fi’liyyah dan Zatiyyah) dan Ahadiyyah.
(17). Ahadiyyah,
yakni Allah, karena Dia dalam Irfan adalah Nama dan Tajalli dari Huwa Yang Maha
Tidak Terbatas dan Ghaibu al-Ghuyub, maka Dia adalah Terbatas. Namun demikian,
tidak ada yang tahu batasanNya. Oleh karena itu dalam pembicaraan dan tulisan,
selalu dikatakan sebagai Yang Maha Tidak Terbatas. Terlebih lagi, setelah kita
tahu bahwa maqam Huwa yang diatasNya, sama sekali tidak bisa tersentuh. Jadi,
penisbatan atau penghubungan atau pensifatan Tidak Terbatas, selalunya
ditetapkan ke “Nama Allah”, bukan ke Huwa/Dia.
(18). Karena Nama
Allah itu hanya Huwa yang tahu batasanNya, dan bahkan Nama-nama Sifat Zat dan
Sifat Perbuatanpun hanya Huwa yang mengetahui batasannya, maka siapapun yang
melanglangi Maqam Nama-nama Baik/Husna ini, tidak akan ada yang tahu
batasanNya.
(19). Orang yang
sampai ke maqam Nama-nama Baik itu, karena dari sisi Ruh-nya yang non materi,
dan ke-non-materian Nama-nama tersebut, maka rumus 1+1=1 itu berlaku. Yakni
mereka men-satu dengan Nama-nama tersebut.
Namun, sekali lagi,
bahwa tidak ada yang bisa dikatakan bahwa dia telah sampai ke semua batasan
atau kesempurnaan Nama yang dicapainya itu.
(20). Sekalipun
pen-satuan yang sampai kepada Nama-nama Husna itu tidak bisa dikatakan telah
mencapai seluruh kesempurnaan dari Nama yang dicapainya, akan tetapi sudah bisa
dikatakan sebagai NamaNya. Setidaknya, sebagai Tajalli Nama yang dicapainya itu.
(21). Ke-men-satu-an
yang sampai kepada Nama-nama Baik Allah itu, dalam Qur an diterangkan sebagai
“Menjadi”, yakni “Menjadi Tuhan” atau “Menjadi Nama-nama HusnaNya” yang, bahasa
Arabnya adalah al-Mashir.
Dalam QS: 2: 285:
“…dan meraka berkata: Kami mendengar dan kami taat (mereka berdoa): Ampunilah
kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah menjadi (terjamahan DEPAG: ..kembali)”.
Kalau Allah memakai kata “Turja’un”, seperti di ayat lain, maka bermakna
“kembali”. Akan tetapi di sini memakai kata “Mashir” atau “Menjadi”, jadi tidak
bisa diterjemahkan dengan “kembali”.
Dalam QS: 3: 28:
“…dan kepada Allah menjadi/dijadikan”. Lihat juga QS: 5: 18; 24: 42; 31: 14;
35: 18; dll-nya yang banyak sekali.
Tentu saja kalau
kemenjadiannya itu ke tempat lain, terkhusus neraka, maka ia juga adalah
ke-men-satu-an dengan neraka. Oleh karenanya dalam Qur an dikatakan sebagai
“Bi’sa al-Mashir” atau “Se-buruk2 tempat menjadi”. Lihat QS: 2: 126; 3: 162; 8:
16; dll-nya yang juga banyak sekali. Rahasianya, karena neraka adalah non
materi. Karena itu konsep 1+1=1 juga berlaku.
Akan tetapi, karena
manusia yang menyatu dengan apa2 yang tidak sesuai dengan esensinya, seperti
api-barzakhi, maka ia akan merasakan secara khudhuri panasnya dan akan tersiksa
karenanya.
(22). Namun demikian,
sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa yang sampai ke maqam Nama-nama Baik
itu, tidak bisa dikatakan bahwa ianya telah sampai ke seluruh batasan atau
kesempurnaan Nama yang dicapainya itu.
Hal itu karena hanya
Huwa yang tahu secara hakiki. Dan karena ketidak bisaan seseorang mencapai
NamaNya itulah maka Tuhan dalam Qur an memakai kata “ilaihi”, yakni “KepadaNya”
atau “Kepada Allah” atau “KepadaMu”, dalam ayatNya yang berbunyi “mashir” atau
“menjadi” atau “dijadikan” itu. Perhatikan contoh ayat di atas, QS: 2: 285 dan
3: 28. Maka disana dan di tempat lain, sebelum mengatakan “menjadi”, telah
dipakai kata “kepada”.
Artinya, bahwa
sejauh apapun ke-men-satu-an yang dicapai manusia, maka ianya tetap merupakan
“ke-menjadian kepadaNya”, bukan “ke-menjadianNya”.
(23). Dengan
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa yang mencapai maqam Nama-nama Husna
itu, dari satu sisi bisa dikatakan “men-satu”, dan dari sisi lainnya dikatakan
“tajalliNya”, atau “bukanNya”.
(24). Kegamblangan
dalil terhadap ke-Tajalli-an yang sampai itu, bahwasannya ianya
tidak-menjadiNya atau tidak men-satu secara hakiki dengan Nama-namaNya atau
“kemenjadian kepadaNya”, adalah Wahdatu al-Wujud itu sendiri.
Artinya, ketika
Wujud itu hanya satu dan ia adalah Nafas Rahmani itu, maka Sang Wujud Mutlak
itu tetap langgeng dan tidak pernah bergeser dan/atau berubah. Jadi, hiruk
pikuk perjalanan Salik/Pesuluk dan wujud-wujud Materi, Barzakhi, Akli dan
Nama-nama Husna itu, sebenarnya hanyalah dalam Tajalli itu.
Dan karena bahasan
(irfan tiori) atau capaian (irfan amali yang amali) tertinggi manusia adalah
Nama Zat, yakni Nama Allah, maka Nafas Rahmani (wujud) itu dihubungkan kepada
Allah. Jadi, Allah-lah pemilik Nafas Rahmani itu secara hakiki dalam Irfan dan
selainNya adalah TajalliNya, baik berupa Nama-nama HusnaNya, atau Akal, Barzakh
dan Materi.
Kalau demikian
halnya, yakni kalau wujud itu, semuanya adalah Dia dan hanya MilikNya yang,
dalam arti DiriNya sendiri, maka keselainanNya adalah TajalliNya. Jadi, gradasi
yang bermakna tingkatan, dan kehiruk-pikukan itu hanya di TajalliNya saja,
bukan di Wujud.
Walaupun demikian,
yakni walaupun selalu dalam Tajalli, akan tetapi tetap saja yang sampai kepada
Tajalli Nama-nama Baik itu, tidak akan sampai kepada seluruh batasan atau
kesempurnaan Nama yang dicapainya tersebut, sebagaimana sudah diterangkan.
(25). Dengan
demikian, maka yang sampai kepada Nama-nama Husna itu, bisa dikatakan sebagai
Nama-nama Husna karena ke-mensatu-an yang diakibatkan oleh kesamaan ke-non
materiannya itu. Walaupun tetap tidak bisa dikatakan sepenuhnya “menjadiNya”
yang dikarenakan “kemenjadian kepadaNya” itu, yakni bukan “kemenjadiNya”.
(26). Dan karena
Rasul saww dan Ahlulbait adalah paling afdhalnya manusia dan tajalli, hingga
dikatakan sebagai Rahmat bagi segenap alam-alam, maka sudah tentu, mereka
adalah Nama-nama Husna itu.
Inilah yang
dimaksudkan oleh hadits yang ditanyakan. Allahu A’lam.
(27). Dan karena semua insan Kamil,
terutama para nabi dan washi-washi sebelum Rasul saww adalah secara yakin telah
sampai kepada Perjalanan ke Empat, maka sudah pasti mereka juga merupakan
orang-orang yang melanglangi maqam Nama-nama Husna tersebut.
(28). Namun
demikian, karena kita melihat dari ayat-ayat, dinyatakan bahwa Nabi saww adalah
rahmat bagi segenap alam semesta (QS: 21: 107), dan Ahlulbait as juga adalah
diri beliau saww, sebagaimana dalam ayat-ayat (QS: 3: 61) dan riwayat-riwayat
yang banyak sekali, maka pastilah maqam mereka as di tingkatan Nama-nama Husna
ini berada di paling tingginya dan paling sempurnanya.
Dengan demikian
dapat diketahui bahwa pembeda insan kamil dg insan kamil lainnya, nabi dengan
nabi lainnya, imam dengan imam lainnya dst, ada di maqam Nama-nama Husna ini,
bukan di Jabarut dan apalagi di bawahnya.
Catatan untuk point
24: Irfan Tiori artinya adalah ilmu yang membuktian kebenaran Wahdatu al-Wujud.
Seadang Irfan ‘Amali adalah ilmu yang membahas tiori pencapaiannya, bukan
pencapaiannya itu sendiri. Oleh karena itu saya tulis dalam kurung di atas
sebagai “amali yang amali”. Artinya capaian dan ke-men-satu-an-nya, bukan tiori
pencapaiannya.
(29). Dengan semua
penjelasan di atas, maka kalimat ke dua dari yang ditanyakan tersebut di atas,
dapat dipahami. Sekalipun hadits itu, sepertinya, tidak termuat kecuali dalam
satu kitab saja. Yaitu kitab Khuthbatu al-Iftikhar yang, masih …banyak yang
menyangsikan keshahihannya. Arti “Aku Ahmad tanpa mim” adalah “Aku Ahad”, yakni
“Aku telah sampai di maqam Ahadiyyah”.
(30). Sekali lagi
jangan lupa, bahwa yang dimaksudkan dari “Aku Ahad” tetap saja adalah Tajalli
Si Empunya Wujud, bukan Wujud itu sendiri, oleh karenanya “Selalu KepadaNya”,
bukan “MenjadiNya”.
Semoga bermamfaat
dan
wassalam
0 comments:
Post a Comment