Saturday, February 4, 2017

on Leave a Comment

Mengapa manusia senang dengan pujian dan tidak suka dengan caci makian?

Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1122163174563805


Salam ustad,semoga ustad selalu dalam kasih sayang dan ridhaNya.amin.
Mau bertanya,
Kenapa manusia senang dg pujian,padahal hal itu tidak memberikan manfaat padanya,juga takut dengan cacian,makian dsb ?
Bagaimana agar tidak senang saat dipuji juga tidak ciut/takut saat dicaci ?
Dan juga apakah pertanyaan saya ada korelasinya dengan riya.
Wassalam.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Dalam setiap keberadaan, sudah difitrahkan oleh Allah swt untuk menyintai dirinya, terlebih bagi yang memiliki ikhtiar seperti binatang dan manusia. Kalau tidak, maka mereka akan segera punah sejak hari-hari atau awal-awal minggu dari penciptaannya. Karena akan malas makan, minum, lari dari bahaya (misalnya mau dimangsa binatang buas atau yang lebih besar), malas buang air besar dan kecil, malas jimak apalagi hamil dan melahirkan yang teramat sakit, malas merawat anak-anaknya apalagi menafkahinya dan seterusnya.

Jadi, cinta diri adalah fitrah yang sudah dibuat oleh Allah sejak awal penciptaan dan merupakan dasar bagi struktur ciptaanNya. Kalau tidak, maka sia-sialah Dia mencipta. Sebab sekarang mencipta beberapa hari kemudian mati dan mentiada (kembali ke wathan aslinya atau barzakhnya).

2- Kalau dalam istilah filsafat dikatakan sebagai Hubbu al-Dzaat, atau Cinta Diri. Dalilnya sangat mudah, sebab setiap dzat atau esensi apapun, sudah pasti menyukai dirinya sendiri. Karena ia memiliki dzat-dzatnya secara darurat/mesti. Kalau tidak, maka dzat tersebut tidak akan bisa dikatakan dzat.

Misalnya, dzat manusia sebagai manusia atau binatang rasional. Kalau manusia adalah manusia, bagaimana mungkin menolak manusia? Kalau manusia adalah binatang rasional, bagaimana mungkin menolak kebinatangan atau kerasionalannya atau kedua-duanya? Bukankah yang dikatakan dzat atau esensi itu adalah dzat dan esensi tersebut tanpa kekurangan suatu apapun? Bukankah dzat itu adalah sesuatu yang mesti dimiliki untuk kejatidiriannya? Bagaimana mungkin dirinya adalah bukan dirinya atau separuh dirinya atau sebagian dirinya?

3- Dalam filsafat telah dibuktikan -seperti yang sudah dilukiskan di poin 2 di atas- bahwa Cinta Diri itu adalah darurat/mesti. Karena yang dikatakan dzat adalah sesuatu yang wajib/mesti dimiliki sebagai lawanan dari Sifat yaitu yang bisa dimiliki atau tidak dimiliki alias keberadaannya tidak darurat/mesti atau keberadaannya tidak mendasari dzat esensinya.

4- Cinta Diri itu, tidak hanya menyangkut manusia dan binatang yang memiliki ikhtiar, tapi seluruh esensi termasuk yang tidak memiliki ikhtiar seperti bebatuan, pepohonan dan semacamnya. Karena konsep dan rumusan cinta diri itu muncul dari jati dirinya atau esensinya sendiri sesuai dengan yang telah diciptakan oleh Allah swt sebagai penciptanya.

5- Kalau kita membahas manusia, maka salah satu unsur dzat yang tidak dimiliki yang lainnya adalah Rasional atau Akal. Akal adalah unsur untuk memahami sesuatu dan menyimpulkannya menjadi pahaman universal. Binatang juga memahami sesuatu yang dicapainya dengan panca indranya, akan tetapi tidak bisa menyimpulkannya secara universal. Misalnya memahami bahwa seluruh air itu baik untuk menghilangkan dahaga, seluruh rumput itu mengenyangkan perut. Karena itu, binatang peminum air dan pemakan rumput, hanya bisa minum dan makan ketika bertemu obyek-obyek tersebut tanpa bisa menyimpulkan secara universal.

6- Ketika manusia memiliki unsur akal dalam ruh/jiwa-nya hingga karenanya dapat memahami banyak hal termasuk tentang nilai baik dan buruk, maka sudah pastilah seluruh apa yang ada pada fitrahnya di awal-awal dasar penciptaannya seperti yang ada dalam rasa cinta diri dan semacamnya itu, mesti diatur dan dikontrol oleh akalnya.

Sinar Agama .

7- Karena kelayakan di poin (6) itulah maka manusia memiliki dua agama: Agama Dasar atau Agama Bumi dan Agama Tuhan atau Agama Langit.

a- Maksud Agama Dasar adalah baik-buruk yang dapat dijangkau oleh manusia dengan akalnya. Orang yang hidup di lingkungan seperti ini, tetap akan mendapatkan pahala dan surga sesuai dengan apa yang dijangkau pemikirannya dan aplikasi amalnya terhadap baik-buruk yang dapat dijangkau dengan akalnya tersebut. Artinya, sekalipun ada sekelompok manusia yang belum mendapatkan agama langitpun, mereka tetap akan memiliki hisab, surga dan neraka yang diukur melalui baik-buruk yang dapat dipahaminya dan aplikasi amalnya dalam kehidupan mereka. Sebab kalau tidak, maka Tuhan telah melakukan kesia-sian dalam mencipta (Maha Suci Allah dari hal yang demikian). Yakni mencipta akal akan tetapi tidak melanjutkan kepada konsekuensinya.

b- Maksud Agama Tuhan/Langit adalah agama yang diturunkan melalui para nabi dan rasul as seperti agama Islam ini.

8- Jawaban Soal:

a- Ketika manusia mendapatkan pujian, maka hatinya pasti senang. Begitu pula kalau mendapatkan ejekan. Hal itu karena adanya cinta diri yang fitrawi di atas. Terutama hati yang belum mati dibunuh akalnya. Misalnya, yang memang tidak perduli kepada akalnya, atau yang masih dalam taraf latihan (seperti orang yang selalu menjaga ikhlashnya dan takut jatuh ke dalam riya'). Tapi kalau pengaturan akalnya itu sampai ke tingkat tinggi hingga hati fitrawi dasar ciptaannya itu mati (mati hawa nafsunya), maka pujian dan ejekan itu sudah tidak akan berpengaruh lagi pada dirinya. Itulah mengapa Nabi saww pernah bersabda:

"Barang siapa yang ingin melihat mayat berjalan, maka lihatlah Ali bin Abi Thalib."

b- Cinta Diri itu, memiliki beberapa tingkatan:

b-1- Cinta Diri di Alam Materi.
Cinta Diri di sini, kalau sifatnya masih menyangkut perbuatan pribadi, seperti makan, minum, kawin, tidur dan semacamnya, masih belum keluar dari kewajaran dan tidak masuk dalam riyaa'.

Tapi kalau sudah bersifat dasar dan/atau tujuan suatu amalan dalam norma-norma dan nilai-nilai, maka hal ini sudah termasuk riyaa' dan berbahaya. Hal itu karena bagaimana mungkin hal-hal yang bersifat maknawi dan non materi diniatkan atau ditujukan atau diperuntukkan untuk hal-hal yang bersifat materi seperti pujian/hormatnya orang, sehat badan, harta, posisi sosial, dan semacamnya?

b-2- Cinta Diri di Alam Maknawi.
Cinta Diri di sini, adalah cinta diri sesuai pemahaman dasarnya, akan tetapi pada tingkatan yang lebih sempurna. Misalnya, cinta diri di alam kubur atau akhirat. Orang yang mengorbankan harta dan jiwanya untuk agama, sudah pasti menghancurkan cinta diri materinya yang ada pada fitrah-fitrah awal penciptaannya. Akan tetapi karena dia mengikuti akalnya yang mengerti bahwa akhirat itu yang abadi secara hakiki dan mesti dikejarnya, maka mengorbankan cinta diri meterinya dengan cinta diri yang lebih abadi, sudah merupakan keharusan dalam akalnya.

Jadi, orang yang bersusah payah melakukan jihad, shalat, puasa, menafkahi keluarga, haji, zakat, khumus dan semacamnya itu, bukan berarti tidak cinta diri, melainkan cinta diri juga, akan tetapi telah menggantinya dengan yang lebih abadai, yaitu pahala dan surga akhirat.

Catatan:
Bisa saja perbuatan dari cinta diri duniawi/materi itu secara lahiriahnya sama dengan perbuatan cinta diri ukhrawi/non-materi, akan tetapi bedanya adalah dalam niat dan fokus yang ditanamkan dalam diri pelakunya. Kalau niatnya untuk materi, maka hancurlah non materi atau akhiratnya dan dia hanya mendapatkan materi sesuai dengan tujuannya, misalnya kalau ingin naik pangkat maka dia bisa naik pangkat (walau bisa saja juga hancur dan tidak naik pangkat dikarenakan adanya ganjalan-ganjalan yang menghadangnya, yakni adanya sebab-sebab pencegah). Kalau niatnya untuk akhiratnya, maka dia akan mendapatkan akhirat dan untuk dunianya sudah tidak terbahas lagi baginya, apakah tetap mendapatkannya atau tidak sama sekali. Karena itulah Nabi saww pernah bersabda:

"Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya."

Sinar Agama .

b-3- Cinta Diri di Dalam Jati Diri Yang Paling Dalam.
Maksud jati diri yang paling dalam di sini adalah hakikat penopang dari dirinya sendiri.

Sebagaimana maklum, yang namanya akibat, tidak akan pernah lepas dari sebabnya walaupun sudah terwujud di alam nyata. Persis seperti sinar lampu listrik yang berpijar karena arus listrik. Sebab tidak sesekali pijaran lampu listrik itu bisa mandiri dan terlepas dari arus listrik yang merupakan sebabnya.

Nah, ketika manusia melihat dirinya seperti itu terhadap Tuhannya, yakni dia bukan hanya memahami melainkan sudah merasakan ketergantungan selalu tersebut, maka meniatkan seluruh aktifitas jiwa/hati/akal dan badaniahnya untuk sebabnya yakni Tuhan, juga merupakan cinta diri. Yakni cinta diri yang berpulang dan bergantung dalam segala jati dirinya kepada sebabnya.

Kalau di poin (b-2) masih menyisipkan pahala dan surga pada niatnya yang sudah karena Allah swt, akan tetapi di poin (b-3) ini sudah tidak menyisipkan apa-apa lagi.

Catatan:
a- Beda dari poin (b-2) dan (b-3) selain yang sudah diterangkan di atas, juga terdapat pada efek pujian dan ejekan yang datang dari luar dirinya. Kalau di poin (b-2) bisa saja masih merasakan senang dan sedih, akan tetapi bagi yang di poin (b-3), sudah tidak akan merasakannya lagi.

b- Rasa senang ketika dipuji dan sedih ketika diejek, tidak mesti menandakan bahwa pelakunya telah masuk dalam riyaa'. Hal itu karena rasa-rasa tersebut wajar terjadi karena kebanyakan manusia masih dalam kategori awal-awal fitrah ciptaannya.

Lalu dimana beda antara ikhlash dan riyaa' pada kebanyakan orang di atas, yakni yang kebanyakannya masih dalam pengaruh awal-awal fitrah ciptaannya itu?

Jawabnya: Bedanya terletak pada niat yang dituju dalam aktifitas lahir batinnya. Kalau pada dasarnya semua aktifitasnya itu untuk Allah swt, maka perasaan-perasaan itu tidak mempengaruhi keikhlashannya. Tapi kalau dari awal tidak diniatkan karena Allah atau apalagi dari awal memang disebabkan oleh selainNya, maka hal ini bisa tergolong kepada riyaa', terutama hal-hal yang memang bertentangan dengan makna ikhlash itu sendiri seperti pujian orang lain, balasan orang lain dan semacamnya. Wassalam.

Bahtera Cinta Al-musthafa alhamdulillah wa syukurillah,mhon do'a kan kami ustad agar dapat mencerna ilmu dan penjelasan ustad,yg bagi saya yg sangat bodoh ini memerlukan energi besar untuk memahaminya.

0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.