Saturday, February 18, 2017

on Leave a Comment

Bagaimanakah mengaplikasikan, tidak mencintai kecuali hanya Allah?

Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1144043195709136
Salam ustadz.
Bagaimanakah mengaplikasikan, tidak mencintai kecuali hanya Allah?
Suka
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya: Untuk cinta yang hakiki dan sejati itu bisa terwujud kalau memperhatikan beberapa hal di bawah ini:

1- Tingkat paling dasarnya adalah belajar fiqih keseharian secara lengkap dari masalah taqlid, thaharah, shalat, puasa, hubungan antar bukan muhrim, keluarga, sosial, budaya, politik dan semacamnya, lalu mengamalkannya dengan benar dan dengan niat karena Allah swt.

2- Argumentasi poin (1) di atas adalah: Bagaimana mungkin seseorang akan dikatakan cinta Allah swt, kalau dia mengikuti ilmu dan pandangannya sendiri atau mengambil ilmu dan pandangan serta pedoman dan prinsip hidup dari selainNya? Bagaimana bisa seseorang dikatakan cinta Allah swt kalau tidak mengikutiNya dalam segala bidang terutama prinsip kehidupan dan tata cara hidupnya? Bagaimana mau dikatakan cinta Allah kalau mengikuti diri dan nafsunya sendiri?

Dan untuk mencocokkan prinsip hidup dan cara hidupnya dengan yang dikehendaki Allah swt itu jelas harus belajar fiqih yagn dibuatNya dan diturunkanNya melalui kanjeng Nabi saww dan dijaga oleh para Imam Makshum yang 12 orang as serta yang diwakili oleh ribuan ulama/maraaji' dari generasi ke generasi.

3- Ketika seseorang sudah sampai ke tingkat adil atau makshum kecil (yakni sudah terlepas dari semua dosa baik yang berupa maksiat dengan melakukan haram atau yang berupa dosa karena meninggalkan yang wajib dalam segala bidangnya itu yaitu pribadi, keluarga, sosial, budaya, politik, pendidikan dan seterusnya itu) barulah memulai menyintai Allah swt dengan menjauhi apa yang tidak disukaiNya walau tidak sampai ke tingkat haram atau dosa, yaitu meninggalkan makruh.

Dalilnya adalah, bagaimana bisa dikatakan cinta Tuhan kalau yang tidak disukaiNya masih dilakukan?

4- Ketika sudah terlepas dari makruh, maka barulah memulai menyintai Allah swt dengan meninggalkan kesukaan pada selainNya sekalipun berupa kebaikan seperti yang halal atau bahkan pahala, karamat dan surga. Tapi kemenjauhan di sini hanya dengan hati. Karena itu tidak bertentangan antara makan, minum, tidur, kawin dan semacamnya dengan cinta Tuhan. Sebab semua lahiriah itu diperlukan manusia secara darurat untuk mempertahankan hidup dan berketurunan serta kelanggenangan species manusia.

Dalilnya adalah bagaimana mungkin bisa dikatakan cinta Allah swt kalau hatinya masih mendua atau bahkan menjuta kepada selainNya sekalipun selainNya itu halal dan bahkan kebaikan seperti pahala, karamah dan surga?

Bagaimana mungkin seseorang yagn mengetahui bahwa Tuhan itu adalah kebaikan dan keindahan mutlak yang tidak terbatas, masih bisa melirik kepada kebaikan dan keindahan yang sangat terbatas yang bahkan datangnya dari Dia. Bukankah kedatangan kebaikan dan keindahan dariNya itu untuk menjelaskan dan membimbing manusia kepada keindahan dan kebaikanNya? Mengapa kita memakan kail dan tidak mencari dan memakan ikannya?

5- Banyak orang bergaya-gaya mengatakan bahwa agama itu cinta sementara dia tidak tahu apa arti cinta itu? Bagaimana bisa cinta dikatakan cinta kalau tidak melahirkan cinta dalam kehidupan nyata baik secara batin dan secara lahir? Bagaimana dikatakan pencinta kalau masih menentang yang dicintai? Bagaimana bisa dikatakan pencinta kalau hatinya menjuta kepada selainNya yakni masih menyintai berjuta-juta hal selainNya? Terlebih kalau kata-kata itu hanya dijadikan riyaa' dan apalagi kalau mau merayu wanita/lelaki yang diincarnya. Betapa hinanya pelaku hal seperti itu. Semoga kita semua terjauhkan daripadanya, amin.

6- Menyintai selainNya dalam obyek-obyek yang diperintahkanNya untuk dicintai, semua harus/wajib disebabkan karenaNya. Jadi, cinta Nabi saww, cinta Ahlulbait as, cinta Qur an, cinta ulama/marja', cinta orang tua dan seterusnya, semua itu harus dilandaskan karena Allah swt itu sendiri. Yakni karena kita cinta Allah itulah maka kita menyintai mereka. Karena itu, maka:

a- Yang mandiri dalam cinta di hati kita hanya cinta kepada Allah swt.

b- Cinta kepada selainNya dari hal-hal yang diperintahkanNya untuk dicintai seperti yang dijelaskan di poin (6) ini harus dalam wibawa cinta kepadaNya, bukan sebaliknya.

Poin (b) ini sangat halus dan sulit membedakannya. Yaitu antara cinta Allah yang memwibawai cinta kepada Nabi saww, Ahlulbait as, Qur an dan agama misalnya, dan antara cinta Allah yang diwibawai oleh cinta kepada mereka. Kalau dalam bayangan kita atau pikiran kita, memang mudah membedakan dan menposisikan keduanya, tapi kalau dalam rasa dan tatapan hidup yang dikejawantahkan dalam kehidupan lahir batin kita sehari-hari, tidak semudah itu.

Perang cinta itu bukan hanya terjadi antara kebaikan dan keburukan, melainkan bisa terjadi dalam kewibawaannya sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Mana yang berpengaruh dan berwibawa dan mana yang dipengaruhi dan diwibawai.

7- Semua yang dijelaskan di atas itu adalah Cinta Sejati atau Cinta Hakiki. Sedang selainnya, maka bermacam derajat dan model serta modusnya, misalnya:

a- Cinta Palsu/Gombal: Yaitu yang masih melakukan maksiat besar apalagi kemusyrikan-kemusyrikan yang jelas seperti mempercayai dan merendahkan diri di hadapan dukun (baca: bukan pendoa kepada Allah swt seperti ulama dan auliyaa').

b- Cinta Kotor: Yaitu yang masih mengotori dengan maksiat-maksiat kecil.

c- Cinta Tidak Bersih: Yaitu yang masih mengotorinya dengan makruh-makruh.

d- Cinta Kurang Bersih: Yaitu yang masih mengotorinya dengan yang mubah-mubah.

e- Cinta Kurang Murni: Yaitu yang masih mengotorinya dengan kebaikan-kebaikan seperti pahala, karamah dan surga.

f- Pada masing-masing cinta di atas yakni poin (a) sampai dengan poin (e) masih memiliki jutaan dan milyaran derajat, dari yang paling rendah sampai kepada yang paling tinggi/besar di masing-masing golongan dan poinnya tersebut.

8- Nasihat dan Doa:
Apapun derajat cinta kita, akan menjadi pendosa besar dan menjadi Cinta Palsu, manakala kita berputus asa untuk terus menerus mencoba memperbaiki diri dan cinta kita itu, begitu pula kalau tidak memohon bantuanNya dalam perbaikan tersebut. Karena itu dalam keadaan apapun tidak boleh berputus asa.

Ingat, tidak mencoba terus menerus atau tidak berusaha terus menerus, termasuk putus asa walau secara tidak terang-terangan membayangkan dan/atau mengatakannya.

Semoga kita semua terselamatkan dari cinta-cinta selain cinta hakiki kepada Allah swt, dan semoga Tuhan sendiri dan Nabi saww serta Ahlulbait as sudi memberikan syafa'at mereka kepada kita semua hingga bisa serius tiap hari dan saat dalam berusaha memperbaiki cinta kita tersebut, amin.

0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.