Friday, January 6, 2017

on Leave a Comment

Orang tua tidak redho karena memilih tasayyu. bagaimana hukumnya? Apakah benar redho orang tua = redho Tuhan?

Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1115681531878636


Salam Ustadz, afwan mau bertanya tentang Ridho orang tua = Ridho Tuhan.
Sy punya teman (sudah tidak muda & sudah berkeluarga) yg memiliki skill pekerjaan yg luar biasa, dalam bekerja pun sy lihat sudah profesional, ada beberapa hasil pekerjaannya yg mengagumkan. Tapi anehnya hidupnya selalu fakir & banyak hutang.
Sy tanya, Dan jawabnya karna dirinya tidak mendapat Ridho orang tua. Mulai dari orang tua nya yg tidak Ridho dgn pilihan pekerjaannya (karna dari kecil sdh di plot utk mengikuti jejak ayahnya), ditambah dgn pilihannya bertasayyu.
Dari awal tasayyu sudah ditentang keras, akhirnya tmn sy ini sembunyi2. Tapi saat ini sudah terbongkar & orangtuanya murka krn merasa dibohongi. Tmn sy sudah menjelaskan dgn santun, tapi penjelasan2 itu membuatnya semakin dihujat & semakin menambah kebencian mereka kepada syi'ah. Sampai akhirnya bersumpah tidak akan Ridho dunia akhirat kpd tmn sy ini.
Saat ini tmn sy itu sudah tidak menjenguk orangtuanya, tapi selalu mengirim uang yg disisihkan dari penghasilannya yg tidak seberapa bahkan kurang utk rumahtangganya sendiri, belum lagi tumpukan hutang.
Sy pernah tanya kenapa gak cari penghasilan tambahan, dijawabnya tidak perlu cari bahkan sering ditawarin proyek2 besar oleh orang2 yg kenal dirinya, tapi anehnya tawaran2 tsb keseringan menguap & dicancel tanpa alasan yg jelas. Kalaupun ada proyek yg tembus biasanya kandas ditengah jalan. Disini tmn sy itu yakin kalau semua itu akibat sumpah & tidak Ridho nya orangtua.
Pertanyaannya, apa benar seperti itu Ustadz? Ridho orangtua = Ridho Tuhan
Kalau benar kondisinya seperti itu dimana Keadilan Tuhan?
Apa yg akan terjadi di akhirat antara tmn sy & ayahnya nanti? Krn kemungkinan akan saling menyalahkan.. Apakah dua2 nya akan masuk neraka?
Syukron wa afwan Ustadz..
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Yang wajib dicapai ridhanya itu adalah Allah swt. SelainNya, seperti Nabi saww, Imam Makshum as dan yang lain seperti orang tua dan guru, teman dan saudara, keluarga dan tetangga dan seterusnya, MESTI dalam koridor dan aturan yang telah dibuat olehNya. Artinya tidak mutlak, melainkan wajib disesuaikan dengan batas-batas yang telah diberikanNya kepada manusia. Kasarnya, mencapai keridhaan selainNya itu tidak mutlak dan tidak mandiri karena memang pewajibannya dariNya dan juga telah diatur dalam batas-batas apa.

2- Dlam contoh pertanyaan di atas, sama sekali tidak ada hubungannya dengan hak orang tua. Artinya, si anak sangat bebas dan berhak untuk memilih pekerjaan, jodoh, agama, madzhab dan semacamnya. Apalagi anak lelaki. Semua itu telah diatur olehNya sendiri.

3- Tidak ridha dalam hal-hal yang telah diatur oleh Allah swt, bukan hanya tidak bisa menyebabkan dosa dan turunnya bencana bagi yang tidak diridhai, melainkan bahkan bisa membuat dosa pada yang tidak meridhai. Jadi, dalam contoh di atas itu justru yang dosa adalah orang tuanya.

4- Dalam hal contoh di atas itu, yang wajib dilakukan anaknya adalah justru memaafkan dan mendoakan orang tuanya dalam hal di atas (tidak setuju dengan pekerjaan dan madzhabnya).

5- Tentang tidak kaya-kayanya maka bisa diraba sebagai berikut:

a- Mungkin sang anak meninggikan suaranya manakala dimarahi dan tidak diridhai dalam hal-hal yang benar dan menjadi haknya. Misalnya seperti hal-hal di atas. Jadi, sekalipun si anak boleh memilih pekerjaan dan madzhabnya dan bahkan wajib melakukan hal tersebut, akan tetapi tidak boleh melawan orang tuanya dalam adu kata dan/atau meninggikan suaranya. Jadi, tugas anak hanya menjelaskan penuh cinta dan tanpa dendam sedikitpun, apalagi marah.

b- Keyakinan yang salah dari anaknya. Karena keyakinan seperti itu bisa diartikan telah berburuk sangka pada Tuhan. Dan Tuhan tidak akan menolong yang buruk sangka kepadaNya. Bahkan dalam hadits qudsi dikatakan bahwa Allah akan mewujudkan buruk sangkanya itu.

c- Kurang silaturrahim pada orang tuanya. Karena wajib tetap berkunjung kepada orang tua, cium tangan dan diam kalau dimarahi. Kalau tidak dikasih cium tangan, juga jangan memaksa. Tapi pada kunjungan berikutnya tetap dilakukan lagi. Tentu kalau cium tangan itu sudah merupakan kebiasaannya. Kalau tidak, maka yang penting berkunjung dan sopan serta tidak berbantah-bantahan. Kalau ada kesempatan menerangkan, dan dilihat memang bisa dimengerti mereka, maka lakukan dengan penuh santun dan tanpa putus asa. Tapi sekali sudah naik pitam (marah), maka diam lagi dan jangan melawannya.

Kalau secara akal memang sudah diyakini tidak bisa untuk dinasihati, terutama kalau bertambah parah, tapi memang secara akal hal itu diketahui dan bukan secara emosi dan dendam, maka sudah tidak wajib lagi untuk menerangkannya. Tapi kalau ada tuduhan yang tidak benar terhadap Syi'ah, maka wajib menerangkannya dengan sopan dan halus walau yakin tidak diterima mereka.

d- Kurang silaturrahim pada saudara yang terhitung keluarga.

e- Kurang profesional dalam pekerjaannya. Atau bisa juga mengharap penuh pada yang sebenarnya belum bisa diharapkan penuh.

f- Kurang ulet dan ulet dalam mencoba dan mencoba lagi. Kasarnya, mudah putus asa dan menghubungkan dengan hal-hal yang tidak berhubungan seperti pada balak dan bencana.

g- Kurang sedekah dan menolong orang lain karena Allah.

h- Kurang doa. istighfar, shalawat dan semacamnya.

i- Kurang memenuhi tanggung jawab pada keluarganya sendiri, seperti istri dan anak-anaknya dari segala sisi kewajibannya. Seperti berusaha dengan gigih dan tidak putus asa. Kurang santun pada mereka, kurang kasih sayang pada mereka, kurang perhatian dan pendidikan Islamiyyahnya pada mereka dan semacamya.

j- Masih banyak hal lain yang bisa menjadi penyebab belum berhasilnya usaha-usaha yang dilakukan.

k- Yang terakhir perlu diketahui bahwa berhasil di dunia itu belum tentu baik untuk akhiratnya. Jadi, anggap semuanya itu datang dari Allah (na'udzubillah) maka bisa saja kesederhanaan dan tidak kaya-kayanya dia itu adalah kebaikan baginya di dunia ini dan/atau di akhirat kelak.

l- Apapun itu, kita tidak boleh memastikan pada salah satu dari kemungkinan-kumungkinan di atas. Kita wajib berusaha dan jangan menghubungkan apa-apa yang tidak diajarkan oleh Islam kepada kita, agama kita dan apalagi Allah swt.

0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.