Friday, December 30, 2016

on 1 comment

Saya pernah mendengar dari teman bahwa hasil istikharah itu suatu saat bisa berubah jika amal perbuatan kita berubah, Apakah benar begitu ustadz?

Link : https://web.facebook.com/sinaragama/posts/1109212642525525


salam.
afwan ust,saya mau bertanya..
saya pernah mendengar dari teman bahwa hasil istikharah itu suatu saat bisa berubah jika amal perbuatan kita berubah.
apakah benar begitu ustadz?
apakah ada riwayat yg menjelaskan ttg itu??
afwan wa syukran ust..
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Saya sudah sering menjelaskan bahwa agama itu bukan satu ayat dan satu hadits, melainkan ribuan ayat dan belasan atau puluhan ribu hadits.

2- Kalau agama Islam itu seluas di poin (1) di atas itu, maka ajarannya juga lengkap, dari masalah-masalah akidah, fiqih, akhlak sampai pada masalah-masalah politik, budaya, teknologi, ekonomi dan apa saja yang menyangkut kehidupan di dunia ini.

3- Istikharah, merupakan salah satu yang bahkan tidak mendasar dari ajaran Islam itu. Yakni bukan ajaran pokok. Hal itu karena memang dia bukan hal yang pasti untuk masalah yang dihadapi DAN BAHKAN, memiliki kelanjutan di kemudian hari.

4- Dalam ajaran Qur an, hadits, akidah dan semacamnya, diterangkan bahwa kebaikan seperti iman dan taqwa hari ini, sama sekali tidak menjamin untuk hari esok. Siapa yang beriman dan taqwa hari ini, maka baik baginya untuk hari ini. Akan tetapi esok hari, dua hari lagi dan kemudian hari, sama sekali tidak ada jaminan. Siapa yang istiqamah maka akan mendapatkan kebaikan selama dia tidak berubah dari keimanan dan ketaqwaannya tersebut.

5- Di pihak kekafiran dan kemaksiatan juga demikian. Siapa yang kafir secara sengaja atau maksiat hari ini, maka jelek baginya pada hari tersebut. Dan barang siapa yang meneruskan keburukannya itu maka dia akan terus mendapatkan kejelekannya. Tapi hal itu bukan merupakan hal pasti. Karena itu, siapa yang merubah kekufuran dan/atau kemaksiatannya menjadi iman dan taqwa, maka dia akan mendapatkan kebaikan. Yakni berubah dari mendapatkan keburukan/kejelekan menjadi mendapatkan kebaikan.

6- Di atas itu sebagian kecil dari ajaran Islam yang agung.

7- Kalau Islam mengajarkan yang di atas itu, maka dalam masalah hasil baik istikharah bisa dirabakan sebagai berikut:

a- Hasil baiknya jelas tidak pasti. Karena istikharah itu adalah doa dan doa belum tentu diterima Allah dalam bentuk yang dimintanya. Mamang, sebagaimana sudah sering dijelaskan bahwa doa itu tidak ada yang ditolak. Akan tetapi bukan isi doanya, melainkan secara mutlak. Bisa saja seseorang minta harta atau sehat, tapi kalau keduanya tidak baik (misalnya kalau sehat/kaya maka akan maksiat), maka Tuhan menerima doanya dalam bentuk lain, misalnya pengampunan dosa, ilmu, pahala, teman yang baik, guru yang baik, kekhusyukan dan semacamnya.

b- Tentang tidak pastinya hasil istikharah, terlepas dari hasil baik atau tidak baiknya, merupakan kesepakatan para ulama Syi'ah. Karena itulah mereka mengatakan bahwa sebelum istikharah hendaknya bermusyawarah dengan para ahli dalam masalah yang dihadapi. Kalau sudah mendapatkan kesimpulan yang bagus dan meyakinkan, lalu kalau masih ada keraguan, barulah melakukan istikharah. Dan, apapun hasilnya, juga tetap tidak pasti sebagimana maklum.

c- Kebaikan dan keburukan hasil istikharah, tidak menafikan kebaikan dan keburukan yang lain yang terhampar di muka bumi ini.

d- Anggap secara kebetulan doa istikharahnya itu diterima oleh Allah hingga hasil istikharahnya itu sesuai dengan keadaannya, baik menghasilkan istikharah yang baik atau yang menghasilkan tidak baik (dalam istikharahnya itu), maka hal itu bisa dirabakan sebagai berikut:

d-1- Tergantung niatnya. Kalau niatnya baik/buruk untuk jangka pendek, maka kebaikan atau keburukannya juga untuk jangka pendek. Begitu pula kalau pertengahan atau jangka panjang.

d-2- Tergantung niatnya. Di poin ini yang saya maksudkan sisinya bukan dari sisi waktu seperti jangka pendek, pertengahan atau panjangnya, melainkan dari sisi kebaikan/keburukannya dari sisi atau sudut pandang yang diperhatikan atau diniatkan. Misalnya:

d-2-a- Dari sisi agama. Di sini juga tergantung keadaan. Artinya tidak mutlak. Sebab bisa saja yang akan didapat itu baik dari sisi agama sebab memang di tempatnya hanya dia yang terbaik atau salah satu yang baik. Tapi bukan berarti dia benar di hadapan hakikat. Misalnya, dalam kawin dengan seseorang. Bisa saja dia baik bagi yang beristikharah pada kondisi yang dihadapi lantaran hujjah yang ada hanya yang dihadapi calonnya itu. Tapi bukan berarti dia sudah benar secara hakiki di hadapan Tuhan. Sebab pengertian agamanya, madzhabnya dan semacamnya, sangat terbatas karena keterbatasan kondisinya hingga dengan keterbatasannya itu dia dinilai sebagai baik.

d-2-b- Bisa saja yang diistikharahi itu baik pada hakikatnya, akan tetapi karena yang beristikharah tidak dapat mensyukuri kebaikannya itu, maka yang baik secara niscayanya itu, menjadi penyebab keburukan baginya di kemudian hari. Sudah tentu sebab hakikinya adalah dirinya sendiri, bukan kebaikan yang diistikharahi.

d-2-c- Dari sisi ekonomi. Di sini kebaikan/keburukan hasil istikharah hanya dari sisi ekonomi. Artinya belum tentu bai/buruk dari sisi yang lain, seperti untuk agamanya, imannya, taqwanya dan semacamnya.

d-2-d- Dari sisi setia dan penyantun. Di sini, begitu juga. Yakni kebaikan/keburukan istikharahnya hanya dari sisi setia/santun, misalnya setia. Tapi bukan berarti dia baik di sisi yang lain seperti agama, taqwa dan semacamnya.

d--2-e- Dari sisi-sisi yang lain yang tidak terhitung jumlahnya di dunia ini.

d-2-f- Dari sisi obyek yang berbeda. Misalnya orang seperti jodoh, teman bisnis, teman politik dan semacamnya. Misalnya harta seperti bisnis, jual beli dan semacamnya. Misalnya membeli barang, seperti rumah, tanah, mobil, motor dan apa saja.

d-2-g- Kalau dari sisi obyek istikharah (d-2-f) dan sisi niat yang difokus dalam istikharah (di poin-poin sebelum d-2-f) itu digabung, maka akan menjadi jutaan sisi dan dimensi.

8- Kesimpulan dan Jawaban Soal:
Dengan semua penjelasan di atas itu, maka dapat disimpulkan bahwa semua tergantung keadaannya, tergantung qabul tidaknya doanya, tergantung niatnya yang difokus dan juga waktu yang diniatkan.

Dan anggap baik atau buruk dari hasil istikharahnya sudah sesuai hakikatnya yang difokus/diniatkan dan sesuai dengan waktunya, maka tetap akan sesuai dengan gradasinya sebagaimana maklum. Yakni bukan kebaikan/keburukan yang mutlak dan tertinggi.

Dan anggap juga sudah sesuai dengan keadaan yang tertinggi, maka hal itu adalah pada hakikatnya, bukan dari sisi bagaimana kita menghadapinya. Sebab bisa saja kita tidak bersyukur atau mengingkari kebaikan yang akan didapat.

Jadi, anggap hasil istikharahnya itu sudah lolos dari berbagai dimensi, sisi, waktu, derajat dan semacamnya, maka masih saja hal itu tergantung pada keadaan pelaku istikharah dari sisi istiqamah tidaknya keadaan dirinya. Karena itu, kebaikan yang akan didapat dari hasil istikharahnya itu, akan menjadi buruk manakala diri pelaku istikharahnya berubah iman, taqwa, mental, amal, niat, ikhlash dan semacamnya. Allahu A'lam.

Fathimah Zahra syukran katsiran ya ustadz atas jwbnx yg sgt jelas dan terperinci,jazakallah kheer..







1 comment:

  1. apakah juga sebaliknya ustadz, keburukan yang didapat dari hasil istikharahnya itu, akan berubah menjadi baik manakala diri pelaku istikharahnua berubah iman, taqwa, mental, amal, niat, ikhlas, dan semacamnya?

    ReplyDelete

Andika Karbala. Powered by Blogger.