Salam Semoga Ustadz selalu diberi rahmat dan rida-Nya. Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin disampaikan. Pertanyaan-pertanyaannya masih berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya.
1. Ustadz, kalau untuk masalah halal haram makanan tidak seperti masalah najis ya ustadz? Kalau najis itu kalau kita tidak tahu atau ragu tentang kenajisan sesuatu, kita anggap sesuatu itu sebagai suci atau tidak najis. Sebaliknya kalau untuk kehalalan makanan, kita harus yakin bahwa makanan tersebut halal. Benarkan kesimpulan saya itu?
2. Untuk mendapat keyakinan itu, bolehkah kita menggunakan sertifikat halal MUI di suatu restoran di Indonesia? Tentunya kalau makanan tersebut bukan jenis ikan yang tanpa sisik atau makanan lain yang ada perbedaan fiqih sunni dan syiah?
3. Untuk mendapat keyakinan itu apakah cukup dengan menanyakan ke pelayannya, apakah makanan di sini halal buat muslim jika kita masuk ke restoran nonmuslim? Tentunya ini kondisi di Indonesia ya yang saya tanyakan atau di daerah yang mayoritas muslim.
4. Kalau kita berada di restoran muslim syiah, apakah kita sudah bisa yakin dengan kehalalannya padahal kita juga ga tahu apakah orang syiahnya itu paham fiqih makanan dan mengamalkannya atau tidak? Apakah kita tetap punya kewajiban untuk menanyakan apakah ikannya mati di darat atau di air?
5. Apakah yang dimaksud dengan tafwidh yang merupakan keyakinan mu'tazilah?
6. Kalau kita menggunakan jasa bpjs (dulu jamsostek) misalnya buat operasi 20 juta. Trus kalau dihitung-hitung uang yang buat bayar premi/bayaran bulanan asuransinya itu 20 juta juga. Apakah kita masih punya kewajiban membayar bunga ke faqir syiah sementara kalau dalam sistem asuransi kesehatan atau bpjs itu tidak ada bunga yang bisa kita ambil uangnya. Berbeda dengan nyimpen uang di bank kita bisa tahu nilai bunganya dan kita ambil untuk diserahkan kepada faqir syiah?
Syukron
0 comments:
Post a Comment