Apa hukum memilih pemimpin non muslim?
Terimah kasih ustadz Sinar Agama
Terimah kasih ustadz Sinar Agama
Jawab:
Sinar Agama
Salam dan terimakasih pertanyaannya: Tidak boleh sama sekali sekalipun hanya untuk kepemimpinan kecil. Ayatullah Jawadi Omuli hf dalam pelajaran bahtsu al-khaarijnya (yang tersebar di seluruh dunia melalui siaran langsung pengajaran hauzah) pernah menafsirkan ayat yang dimaksudkan dalam ketidakbolehan menjadikan orang kafir itu sebagai pemimpin, maknanya adalah dalam dan dengan jalan apapun. Yakni secara mutlak kafir tidak diberi jalan oleh Allah untuk menjadi pemimpin muslim walau sekecil apapun.
Salam dan terimakasih pertanyaannya: Tidak boleh sama sekali sekalipun hanya untuk kepemimpinan kecil. Ayatullah Jawadi Omuli hf dalam pelajaran bahtsu al-khaarijnya (yang tersebar di seluruh dunia melalui siaran langsung pengajaran hauzah) pernah menafsirkan ayat yang dimaksudkan dalam ketidakbolehan menjadikan orang kafir itu sebagai pemimpin, maknanya adalah dalam dan dengan jalan apapun. Yakni secara mutlak kafir tidak diberi jalan oleh Allah untuk menjadi pemimpin muslim walau sekecil apapun.
Ayat yang saya maksud adalah ini (QS: 4:141):
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
"Dan Allah sama sekali tidak akan memberi jalan bagi orang kafirin untuk menguasai mukminin."
Beliau hf berkata sabiil di sini apa saja yang berupa penguasaan pada kaum mukmini seperti kepemimpinan walau kecil sekalipun. Ingat, beliau hf tidak sedang membahas issu di Indonesia tentang kepemimpinan kafirin ke atas mukminin, dan hanya menjelaskan tentang politik Islam secara mutlak dan sesuai dengan agama Islam. Tapi karena penjelasan beliau hf ini cocok dengan bahasan yang sedang hangat di Indonesia, maka saya copaskan di sini maksud beliau hf secara ringkas.
Tentu saja, kalau keadaan dalam keadaan darurat seperti terjadi peperangan yang tidak henti-henti, dan merupakan jalan damai untuk mencapai kesepatakan dan saling menahan diri, seperti yang dilakukan Nabi saww sewaktu melakukan perjanjian damai dengan kafirin Makkah di Hudaibiyyah, maka hal itu tidak masalah. Misalnya di Libanon. Di sana karena perang dalam negeri terus menerus antara Islam dan Masehi, dan dimana hal itu juga menguntungkan Israel yang menjajahnya belajasan tahun, maka jelas Islam dan Ahlulbait as membolehkan untuk berdamai dengan tetangga yang Masehi walaupun kepemimpinan negara mesti dibagi-bagi. Di Libanon disepakati bahwa presiden mesti Masehi, ketua Parlemen mesti Sunnni dan Perdana Mentri mesti Syi'ah. Dengan pembagian kekuasaan ini maka di Libanon menjadi kuat dan bertahan tidak bisa dijajah lagi oleh Israel setelah sebelumnya dihajar keluar oleh Hizbullah dalam waktu 15 tahun lamanya.
0 comments:
Post a Comment