Sunday, October 9, 2016

on Leave a Comment

Makna Syafaat, Pebagian syafaat dari sisi Objeknya, Ayat-ayat tentang syafaat, Syarat-syarat mendapatkan syafaat, Syafaat itu membangun umat serta Filsafat Syafaat juga Nasehet dan Anjuran mengenai syafaat.

Link : https://www.facebook.com/andika.yudhistira.505/posts/1242006032529387



Salam ustad,
Mohon penjelasan kembali mengenai syafaat "Syafaat itu sistem, kita tidak boleh mengandalkannya".
Trims Ustad Sinar Agama
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Pardi Tanpa syafa'at ? Mustahil

Adlimi Lamsuan Salam ustadz, maafkan saya kerena menyambung pertanyaan teman yg diatas,, tentang tawasul, adakah ayat2 Al Quran yg menganjur/ ceritakan mengenai tawasul?, juga hadis. Juga ziarah kubur. Sukron

Pardi Slain Rasul Muhammad. Smua hrs tawasul. Tanpa tawasul ? Mustahil

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya. Dari kemarin berusaha menjawab antum tapi berbagai kendala, yang batray laptopnya habis tanpa pamit hingga tulisannya buyar semua sementara sudah berjam-jam penelitian ulang. Dan hal ini sampai terjadi dua kali. Walhasil setelah tepuk jidat, saya hentikan saja kemarin dan baru tadi padi saya teruskan lagi, Ini jawaban ulang terhadap hal dan topik yang sama.

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya: Tentang syafaa’at itu secara global dapat dikatakan sebagai berikut:

1- Makna Syafaa’at:

a- Makna Bahasa/kata:
Secara kata syafaa’at artinya genap atau menggenapi sesuatu dengan sesuatu yang lain.

b- Makna Istilah:
Secara istilah kata syafaa’at artinya penggenapan yang lebih kuat kepada yang lebih lemah agar terhindar dari masalah yang dihadapi.

2- Pembagian Syafaa’at Pada Duniawi dan Agama:
a- Syafaat dalam artian dunianya adalah menolong seseorang yang sedang menghadapi hukum agar terlepas dari hukumannya. Di sini syafaa’at tidak membangun jati diri yang lemah. Seperti presiden yang mensyafaa’ati narapidana dan semacamnya.

b- Syafaa’at dalam artian agama adalah penguatan dari yang lebih kuat kepada yang lebih lemah agar terlepas dari hukum yang dihadapi atau terlepas dari masalah yang dihadapi. Di sini syafaa’at itu bukan menghindarkan hukumannya melainkan menguatkan diri dan jati diri yang lemah hingga tidak layak lagi untuk mendapat hukuman. Begitu pula bagi yang menghadapi masalah secara umum dan bukan hukuman, seperti yang mau naik ke derajat yang lebih tinggi.

3- Pembagian Syafaa’at dari Sisi Obyeknya:

a- Membebaskan dari sanksi hukuman.

b- Menaikkan derajat kebaikan dan kemuliaan. Karena itulah Imam Ja’far as pernah berkata:

عن الإِمام الصادق(عليه السلام) هي: «مَا مِنْ أَحَد مِنَ الأَوّلَيِنَ وَالاْخِرِينَ إِلاَّ وَهُوَ مُحْتَاجٌ إِلَى شَفَاعَةِ محمّد(صلى الله عليه وآله وسلم) يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

“Tidak satu orangpun dari manusia pertama sampai manusia paling akhir, kecuali memerlukan syafaa’at nabi Muhammad saww di hari kiamat kelak.”

Sinar Agama .

4- Pengelompokan Ayat-ayat Tentang Syafaa’at:

Ayat-ayat syafaa’at dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a- Yang menolak syafaa’at, seperti:

- QS: 2:254:

(يا ايها الذين امنوا انْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ)

“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rejeki yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafaa’at.”

- QS: 2:48:

(وَلاَ يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ)

“Dan tidak diterima syafaa’at darinya.”

- QS: 74:48:

(فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ)

“Maka tidaklah syafaa’at dari para pemberi syafaa’at itu berguna bagi mereka.”

b- Yang mengkhususkan syafaa’at itu hanya kepada Allah, seperti:

(مَا لَكُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ شَفِيع)

“Tidaklah bagi kalian seorang penolong dan pemberi syafaa’at dari selainNya.”

c- Yang menggantungkan syafaa’at selain Allah kepada ijinNya, seperti:

- QS: 2:255:

(مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ)

“Siapa yang bisa memberi syafaa’at di sisiNya kecuali dengan ijinNya?”

- QS: 34:23:

(وَلاَ تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عَنْدَهُ إِلاَّ لِمَنْ أذِنَ لَهُ)

“Dan tidaklah syafaa’at itu bermanfaat di sisiNya kecuali bagi orang-orang yang diijinkan untuknya.”

d- Yang menerangkan bahwa syafaa’at itu diberikan kepada orang-orang khusus, seperti dengan syarat-syarat:

d-1- Syarat ridha, seperti di QS: 21:28:

(وَلاَ يَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنَ ارْتَضى)

“Dan tidaklah mereka dapat memberi syafaa’at kecuali bagi yang diridhai.”

d-2- Syarat perjanjian/’ahdun (maksudnya iman kepada Allah dan Rasul saww), seperti di QS: 19:87:

(لاَ يَمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ إِلاَّ مَنِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمنِ عَهْداً)

“Tidaklah mereka memiliki (hak) syafaa’at kecuali bagi orang-orang yang telah mengambil perjanjian di sisi Yang Maha Pemurah (Allah).”

d-3- Syarat bukan orang yang zhalim bagi yang akan diberi syafaa’at, seperti di QS: 40:18:

(مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيم وَلاَ شَفِيع يُطَاعُ)

“Tidaklah bagi orang-orang zhalim itu tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaa’at yang diterima syafaa’atnya.”

d-4- Berjalan di atas jalan yang haq/hak/benar, seperti di QS:43:86:

وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan tidaklah orang-orang yang meminta kepada selainNya itu memiliki syafaa’at kecuali orang yang menyaksikan (berjalan) dengan haq dan mereka mengetahuinya.”
Lihat Terjemahan

Sinar Agama .

5- Syarat-syarat Mendapat Syafaa’at.
Syarat-syarat mendapat syafaa’at bermacam ragam seperti:

a- Tidak zhalim seperti di QS: 40:18, di atas.

(مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيم وَلاَ شَفِيع يُطَاعُ)

“Tidaklah bagi orang-orang zhalim itu tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaa’at yang diterima syafaa’atnya.”

b- Datang kepada Nabi saww dimana hukum ini berkelanjutan sampai hari kiamat karena tidak dibatasi pada waktu hidup beliau saww saja, seperti QS: 4:64:

(وَلَو أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحيِماً)

“Dan kalau mereka berbuat zhalim terhadap diri mereka, datang kepadamu (Muhammad) lalu meminta ampun kepada Allah dan Rasulullah juga memintakan ampunan untuk mereka, maka mereka akan mendapatkan Allah itu Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.”

c- Istighfar dan meminta ampun seperti yang tercantum di ayat di atas:

(وَلَو أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحيِماً)

“Dan kalau mereka berbuat zhalim terhadap diri mereka, datang kepadamu (Muhammad) lalu meminta ampun kepada Allah dan Rasulullah juga memintakan ampunan untuk mereka, maka mereka akan mendapatkan Allah itu Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.”

d- Mengakui kesalahan, seperti di QS: 12:97-98:

(قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ، قَالَ: سَوْفَ اسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ)

“Mereka (anak-anak nabi Ya’quub as yang menzhalimi nabi Yusuf as) berkata: ‘Wahai ayah kami, mintakanlah ampunan untuk kami atas dosa-dosa kami sesungguhnya kami adalah orang-orang yang salah.’ Berkata (Ya’quub as): ‘Aku akan memintakan ampunan untuk kalian dari Tuhanku sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Penyayang.’.”

e- Iman, taubat dan berjalan di jalan Allah, seperti di QS: 40:7:

(وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْء رَحْمَةً وَعِلْمَاً فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوُا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ)

“Dan mereka (para malaikat) memintakan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya bermohon): ‘Wahai Tuhan kami, Engkau telah meluaskan atas semuanya sebagai rahmat dan ilmu, maka ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalanMu serta lindungilah mereka dari adzab jahannam.’.”

6- Kesejenisan dan Kesewarnaan Antara Pemberi Syafaa’at dan Yang Menerimanya.

Dari uraian di atas, terutama syarat-syarat memiliki syafaa’at dan diberi syafaa’at maka dapat disimpulkan bahwa keduanya mestilah memiliki kesenafasan atau kesewarnaan, yaitu iman dan berjalan di atas jalan Allah (yang haq).
Lihat Terjemahan

Sinar Agama .

7- Syafaat itu Membangun Umat.

Dari semua uraian di atas dapat dipahami bahwa hikmah dari syafaa’at itu adalah:

a- Memutuskan putus asa. Karena dengan adanya syafaa’at, seorang pendosa tidak akan putus asa untuk memperbaiki dirinya dan mendapatkan ampunanNya.

b- Membangung diri/umat. Karena ketika untuk mendapatkan syafaa’at itu disyarati dengan iman dan berjalan di jalan Allah (taqwa), maka jelas syafaa’at ini akan mencambuk umat manusia untuk membangun dirinya kembali dari keterpurukan dosa menjadi insan yang penuh taqwa.

8- Kesalahan Persepsi Tentang Syafaa’at.
Dalam hadits berikut diceritakan adanya kesalahan persepti tentang syafaa’at yang diluruskan oleh Imam Makshum as, seperti:

a- Salah satu shahabat Imam Musa as mengira bahwa pendosa besar tidak mendapat syafaa’at karena tergolong orang yang tidak diridhai Tuhan sebagaimana yang terkandung di QS: 21:28 di atas. Lihat di Tafsir Burhaan, 3/57:

عن الإِمام موسى بن جعفر الكاظم(عليه السلام) عن على بن أبي طالب(عليه السلام) قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ الله(صلى الله عليه وآله وسلم) يَقُولُ: «شَفَاعَتِي لاَِهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي ...» راوي الحديث ابن أبي عمير يقول: فقُلْتُ لَهُ: يَا بْنَ رَسُولِ الله كَيْفَ تَكُونُ الشَّفَاعَةُ لاَِهْلِ الْكَبَائِر وَاللهُ يَقُولُ (وَلاَ يَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى) وَمَنْ يَرْتَكِبُ الْكَبَائِرَ لاَ يَكُونُ مُرْتَضى بِهِ؟ فَقَالَ: يَا أَبَا أَحْمَدَ مَا مِنْ مُؤْمِن يَرْتَكِبُ ذَنْباً إِلاَّ سَاءَهُ ذَلِكَ وَنَدِمَ عَلَيْهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيٌّ(صلى الله عليه وآله وسلم)كَفَى بالنَدَم تَوْبَة ... وَمَنْ لَمْ يَنْدَمْ عَلىْ ذَنْب يَرْتَكِبُهُ فَلَيْسَ بِمُؤْمِن وَلَمْ تَجِبْ لَهُ الشَّفَاعَةُ وَكَانَ ظَالِماً والله تَعَالى ذِكْرُهُ يَقُولُ(مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَميم وَلاَ شَفيِع يُطَاعُ)

Imam Musa as menukilkan riwayat dari Imam Ali as yang berkata: “Aku mendengar dari Rasulullah saww yang berkata: ‘Syafaa’atku untuk orang-orang yang berdosa besar dari umatku.’.” Lalu perawi hadits yaitu Ibnu Abi ‘Umair berkata (kepada Imam Musa as): “Wahai putra Rasulullah saww, bagaimana mungkin syafaa’at itu untuk orang yang berdosa besar sementara Allah berfirman (Dan tidaklah mereka memberi syafaa’at kecuali kepada orang-orang yang diridhai) dan orang yang melakukan dosa besar tidaklah dari orang-orang yang diridhaiNya?” Beliau as menjawab: “Wahai Abu Ahmad (Ibnu Abi ‘Umair) tidaklah ada orang mukmin yang melakukan dosa kecuali ia merasa risih dan menyesal terhadap dosanya itu sementara Nabi saww bersabda: ‘Cukuplah taubat itu dengan penyesalan.’ Barang siapa yang tidak menyesal terhadap dosa yang dilakukannya maka dia bukan orang beriman dan syafaa’at itu tidak wajib lagi baginya dan dia tergolong orang-orang yang zhalim sementara Allah Yang Maha Tinggi berfirman: ‘Tidaklah bagi orang-orang yang zhalim itu seorang penolong dan pemberi syafaa’at yang diterima syafaa’atnya.’.”

Dengan hadits di atas ini, maka ayat sebelumnya yang mengatakan bahwa orang zhalim tidak akan mendapatkan syafaa’at adalah orang yang melakukan dosa sementara dia tidak sedih dan tidak menyesalinya. Dengan ini pula maka persepsi sebagian shahabat yang mempersepsikan bahwa pelaku dosa besar itu tidak diridhai Allah hingga karenanya tidak akan mendapatkan syafaa’at, telah diluruskan oleh Imam Musa as. Karena yang tidak diridhai itu adalah orang zhalim, bukan hanya pendosa. Yaitu orang yang melakukan dosa akan tetapi tidak bersedih dan menyesalinya.

Dengan penjelasan Imam Musa as ini pula dapat dipahami bahwa hadits Imam Musa as ini sangat serasi dengan ayat-ayat sebelumnya yang mensyarati orang yang akan diberi syafaa’at dengan iman dan taubat. Karena kalau orang menyesali dosanya, maka berarti hal itu karena imannya. Jadi, iman dan taubat telah dipenuhi dalam hal ini, yaitu untuk mendapatkan syafaa’at.

b- Salah satu kesalahan yang mungkin timbul dari syafaa’at terhadap pendosa dan apalagi pendosa besar adalah, bahwa kalau Nabi saww mengatakan bahwa syafaa’at beliau saww untuk pelaku dosa besar, maka kita sebagai orang beriman sudah dijamin akan disyafaa’ati, dengan demikian maka kita bisa melakukan dosa besar atau bahkan berfoya-foya dalam dosa tersebut.

Kesalahan ini telah dijawab dengan ayat dan riwayat sebelumnya, yaitu yang mensyarati adanya iman dan taubat serta bejalan di jalan haq. Hadits berikut ini juga menjelaskan hal yang sama, yaitu:

عن الإِمام جعفر بن محمّد الصّادق(عليه السلام) في رسالة كتبها إلى أصحابه قال: «مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْفَعَهُ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ عِنْدَ اللهِ فَلْيَطْلُبْ إِلَى اللهِ أَنْ يَرْضى عَنْهُ»

Imam Ja’far as berkata dalam salah satu surat yang ditulis untuk shahabat beliau as: “Barang siapa yang ingin mendapatkan manfaat dari syafaa’atnya para pemberi syafaa’at di sisi Allah, maka mintalah kepada Allah untuk diridhai.”
Nah, permintaan untuk diridhai ini jelas memiliki konsekuensi berjalan di jalan Allah swt. Sebab bagaimana mungkin seseorang minta diridhai akan tetapi selalu melakukan pelanggaran dan dosa kepadaNya?

c- Salah satu dari kesalahan yang mungkin bisa muncul di benak kaum muslimin adalah bahwa syafaa’at itu pembebasan dari siksa dan tidak digambarkan sebagai pembangunan umat manusia. Sementara syafaa’at yang benar adalah sebaliknya. Perhatikan hadits berikut ini:

وعن الصادق(عليه السلام) أيضاً: «إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بَعَثَ اللهُ الْعَالِمَ وَالْعَابِدَ، فَإِذَا وَقَفَا بَيْنَ يَدَيِ الله عَزَّ وَجَلَّ قِيلَ لِلْعَابِدِ: إِنْطَلِقْ إِلَى الْجَنَّةِ، وَقيلَ لِلْعَالِمِ: قِفْ تَشْفَعُ لِلنَّاسِ بِحُسْنِ تَأْدِيبِكَ لَهُمْ»

Imam Ja’far as berkata: “Kelak di hari kiamat, Allah akan mengutus Alim dan ‘Abid (orang yang selalu taat kepada Allah). Ketika keduanya berdiri di hadapan kuasa Allah Yang Maha Mulia dan Perkasa, dikatakan kepada yang ‘Abid: ‘Masuklah ke surga!’ Dan dikatakan untuk orang yang Alim: ‘Berdirilah/berhentilah, berilah syafaat untuk umat manusia disebabkan pengajaranmu yang baik kepada mereka!’.”

Dengan demikian maka jelaslah bahwa syafaa’at itu membangun umat untuk menjadi sama dan seirama dengan pemberinya, yaitu iman, taqwa, taubat dan berjalan di jalan Allah swt. Karena pengajaran yang baik itu bukan hanya pemahaman di kelas atau di kajian melainkan keberusahaan untuk mengamalkannya dalam hidup sehari-hari. Begitu pula dengan pengajarnya ketika dikatakan pengajar yang baik. Yaitu dengan penjelasan argumentatif, ikhlash dan juga mengamalkan dengan ikhlash. Sebab mengajar saja tanpa amal, sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai pengajar yang baik, apalagi menurut Allah swt.
Lihat Terjemahan

Sinar Agama .

9- Filsafat Syafaa’at.

Dengan penjelasan panjang lebar di atas, dapat dipahami bahwa filsafat syafaa’at itu adalah:

a- Memberikan peluang bagi pendosa untuk memperbaiki diri.

b- Mengusir jauh-jauh rasa putus asa untuk mendapatkan ampunan dan perbaikan diri.

c- Membuat orang yang akan diberi syafaa’at berusaha menjadi serupa dengan yang memberinya. Sebab syarat-syarat mendapatkan syafaa’at adalah iman, taqwa dan berjalan di jalan Allah swt. Ini berarti membangun umat manusia dari dalam dirinya yang paling dalam, setelah terjadi kehancurannya disebabkan karena dosanya.

10- Bantahan dan Jawaban.

Mungkin ada orang yang berfikir bahwa kalau sudah bertaubat, perlu apa lagi pada syafaa’at sebab orang yang sudah bertaubat itu sudah pasti diampuni dosanya sesuai dengan janji Allah swt.
Menjawab hal ini cukup dengan meringkas apa-apa yang sudah disampaikan sebelumnya, yaitu:

a- Syafaa’at itu bisa untuk pengampunan dosa dan bisa untuk kenaikan derajat. Orang yang sudah bertaubatpun perlu syafaa’at untuk lebih naik derajatnya.

b- Orang yang bertaubat dari dosanya, tidak akan sama dengan orang yang tidak melakukan dosa. Karena itu, syafaa’at dalam hal pembersihan sisa-sisa bekas dosanya itu tetap diperlukan sekalipun sudah diampuni dosanya.

c- Orang yang akan diberi syafaa’at juga bisa dari golongan orang yang belum melakukan taubat. Akan tetapi setidaknya sudah menyesali terhadap apa-apa yang telah dilakukannya. Sebab yang tidak akan diberi syafaa’at atau tidak akan diijinkan untuk diberi syafaa’at, adalah orang yang zhalim. Sedang makna zhalim adalah orang yang tidak menyesali perbuatan dosanya. Karena itulah maka syarat minimal dari orang-orang yang akan diberi syafaa’at adalah iman dan penyesalan.

11- Anjuran dan Nasihat.

Dengan semua uraian di atas itu maka tetap saja kita tidak bisa mengandalkan syafaa’at hingga kita tidak berusaha menjalankan taqwa yang setangguh mungkin. Hal itu disebabkan:

a- Orang yang mengandalkan syafaa’at bisa masuk dalam bahaya “tidak menyesali”. Karena ketika sudah mengandalkan syafaa’at, maka tidak akan ada penyesalan atau bisa dikategorikan sebagai tidak menyesal.

b- Orang yang akan diberi syafaa’at tergantung pada ijin Allah swt. Dan kita tidak tahu atau setidaknya tidak bisa memastikan bahwa kita termasuk orang-orang yang akan diijinkanNya untuk diberi syafaa’at.

c- Anggap saja sudah dipastikan akan diberikan syafaa’at bagi yang memenuhi syarat seperti iman, penyesalan dan berjalan di jalan Allah swt. Akan tetapi dari mana kita bisa memastikan bahwa iman kita, penyesalan kita dan keberjalanan kita di jalan Allah, sudah sesuai dengan yang diinginkan Allah swt?

d- Apapun itu, sekalipun kita tidak bisa mengandalkan syafaa’at secara pasti, akan tetapi kita tidak pula boleh meremehkannya, tidak mengharapkannya dan apalagi sampai berputus asa darinya dan terlebih lagi berputus asa untuk merubah diri dan bertaubat. Karena itu mari kita lakukan semaksimal mungkin untuk menjalani jalan-jalan dan hukum-hukum Tuhan (tentu dengan mempelajari fiqihNya dengan gigih dan benar), memohon diridhaiNya, pengampunanNya dan syafaa’atNya atau syafaa’at orang-orang yang telah diberiNya hak memberi syafaa’at seperti Nabi saww dan Ahlulbait as serta para ulama ra/hf. Wassalam.

Raihana Ambar Arifin · 10 teman yang sama
Allahumma sholli ala Muhammad wa Aali Muhammad.

Andika Allahumma sholli ala Muhammad wa Aali Muhammad wa Ajjil farajahum..

Andika Syukron ustad.. pencerahannya.. semoga Allah membalas budi baik ustad dalam setiap huruf catatan ustad dengan berlifat ganda.. dan senantiasa dalam redhoNya dan Syafaat maksumin as.. amiinn








0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.