Monday, August 8, 2016

on Leave a Comment

Mohon penjelasan ayat 1. Surah yunus ayat 94, 2. Surah Muhammad ayat 19.. Apakah Nabi pernah ragu-ragu?

Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/973122296134561


Salam wa rahmah. Mf ustd ada pertanyaan. Mohon penjelasan ayat
1. Surah yunus ayat 94
2. Surah Muhammad ayat 19.
Terima kasih sebelumnya
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya: Dari sisi apanya yang ingin diketahui dari dua ayat di atas itu?

Bale Cetak Sagala Dr tafsiran kedua ayat tsb, ustd.,,,secara harfiyah slhsatu ayt tsb bilang kalo rasul itu ragu.
D Ayat yg satunya..apa yg dimaksd dgn Dzanb(dosa) yang Alloh suruh rasul saaw beristighfar itu

Sinar Agama Bale Cetak Sagala, ahsantum telah menerangkan maksudnya. InsyaaAllah mungkin habis istirahat saya akan jawab, atau habis buka. Afwan,

Sinar Agama Tapi ada baiknya saya coba dulu sebelum habis tenaga seratus persen.

Sinar Agama Bale Cetak Sagala,:

1- Ayat yang antum tanyakan itu adalah ini:

فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَءُونَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

"Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebeblum kamu, Sesunggunya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu."

2- Keterangan ayat (secara raba karena pastinya hanya Tuhan dan Makshumin as yang tahu):

a- Nabi saww ketika menerima wahyu itu dengan cara pewahyuan itu sendiri. Yakni kasyaf terhadap hakikatnya. Karena itu tidak mungkin ragu. Mana ada ilmu Hudhuri dan Kasyaf, tapi ragu.

b- Ragu itu sifat akal dan hati di tingkatan ilmu Hushuli atau informasi. Karena itu maka ilmu Hudhuri yang langsung melihat obyek ilmunya, bukan gambaran atau informasi dari obyek ilmunya seperti ilmu Hushuli, tidak mungkin ada keraguan. Seperti kita lapar kita sendiri. Beda dengan ilmu kita tentang laparnya orang lain yang dengan ilmu Hushuli atau informasi.

c- Syuhud atau ilmu Hudhuri, tidak mungkin bisa dilebihyakinkan oleh ilmu Hushuli atau informasi. Karena ilmu Hudhuri itu kehadiran obyek ilmunya pada jiwa/akal, sementara ilmu Hushuli dari panca indra. Karena itu tidak mungkin Nabi saww ragu pada ilmu Hudhuri beliau saww lalu Allah untuk memastikan memerintahkan beliau saww untuk bertanya ke orang Ahlulkitab dengan mencari ilmu dan informasi dari mereka dimana hal ini adalah ilmu Hushuli.

d- Hanya penekanan, syuhud itu adalah mensyuhud hakikat malaikat Jibril as dan mensyuhud hakikat ayat dan kebenarannya. Bagaimana mungkin bisa dilebihyakinkan dengan informasih dari orang lain?

f- Kalau Nabi saww ragu pada wahyu yang diturunkan kepada beliau saww, maka berarti ragu pada kenabian beliau saww. Nah, orang yang ragu pada diri sendiri, dan diyakinkan oleh orang ahlulkitab, bagaimana mungkin dapat meyakinkan orang lain?

g- Kalau ragu pada wahyu yang diturunkan kepada beliau saww mestinya ragu pula pada isi perintah bertanya pada ahlulkitab itu. Lalu mengapa diperintahkan juga oleh Allah?

h- Anggap mau bertanya juga, kan mestinya tetap ragu pada ayat sekalipun sudah mendapatkan penjelasan ahlulkitab itu. Sebab bisa saja pemberi wahyu selain Tuhan itu telah menyetel atau menyesuaikan isi ayatnya dengan apa-apa yang diyakini ahlulkitab.

i- Dengan semua penjelasan di atas maka tidak mungkin Nabi saww yang ragu.

j- Lalu siapa? Maka jawabannya adalah orang kafir terutama kafir Qurasy. Karena itu mereka yang ragu terhadap yang diturunkan kepada Nabi saww itu, bisa bertanya kepada pendeta ahlulkitab apakah sesuai dengan bahasa langit atau tidak, memiliki ciri-ciri keTuhanan yang hakiki atau tidak.

k- Lalu mengapa Tuhan memakai "ka" atau "kamu" pada ayat di atas? Jawabannya adalah:

- Karena wahyu itu turun kepada umat melalui beliau saww. Jadi kalau Tuhan mau mengajak bicara umat dengan kata "kamu", maka sudah pasti memakai "kamu" dalam ayatNya. Nah, kamu ini adalah kamu nya Qur an kepada umat, tidak mesti hanya kepada Nabi saww.

- Kalaulah kepada Nabi saww, maka wahyu di atas memiliki syarat, yaitu:

"Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebeblum kamu, Sesunggunya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu."

Nah, syarat atau penjikaan dalam suatu kalimat, tidak mesti terjadi. Namanya saja syarat atau jika. Misalnya kita berkata kepada anak kita: "Jika kamu takut, maka minta hantar pada kakakmu."

Kan apa-apa yang disyaratkan tidak mesti terjadi toh? Jadi, sekalipun ayat itu untuk Nabi saww, maka tetap beliau saww bukan berarti telah ragu.

- Lalu apa hikmahnya kok mensyarati Nabi saww yang diketahui Tuhan tidak akan pernah ragu? Tujuannya supaya Nabi saww tidak menjadi orang-orang yang mumtariin atau yang meragu-ragukan. Dan larangan ini, jelas untuk siapa saja, baik Nabi saww atau yangn lainnya.

- Dalam istilah tata bahasa Arab ada istilah:

ایاک اعنی فاسمعی یا جارة

"Aku bicara padamu tapi dengarkanlah wahai orang sebelah."

Artinya, ada ayat-ayat di Qur an yang mana yang diajak bicara memang Nabi saww akan tetapi yang dimaksudkan itu bukan Nabi saww, misalnya QS: 17:23:

وقضى ربّك أن لاتعبدوا إلاّ إِيّاه وبالوالدين إِحساناً إِمّا يبلغن عندك الكبر أحدهما أو كلاهما فلا تقل لهما أف

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya, Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemerliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."

Kita tahu pasti bahwa ayah ibu kanjeng Nabi saww telah wafat selagi beliau saww masih dalam kandungan dan katika masih bayi. Kok bisa setelah menjadi nabi beliau saww diperintah seperti di atas itu, yaitu menghormati kedua orang tua dan jangan berkata kepada keduanya dengan kata-kata "ah" dan seterusnya?

Karena itu, apa saja yang di kalimat Qur an teradap "kamu", bukan mesti Nabi saww.

Sinar Agama .

2- Untuk surat Muhammad (QS: 47:19) itu, maka ia berbunyi:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal."

Catatan ayat sesuai rabaan:

a- Sudah sering dijelaskan bahwa Nabi saww para Imam Ahlulbait atau Khalifah itu wajib makshum. Sebab kalau tidak makshum, berarti Tuhan mendukung atau tidak mencegah kemaksiatan ramai-ramai kepadaNya melalui para nabi/rasul dan para khalifahNya itu. Mendukung karena Allah mewajibkan taat pada nabiNya dan khallifahNya, sementara mereka tidak makshum alias bisa banyak salah. Ini jelas kontra produktif.

b- Kalaupun akan dikatakan bahwa kalau salah nanti akan diingatkan oleh Tuhan, maka hal ini tidak bisa menepis keraguan pada hati umat. Sebab bisa saja yang dilupakan atau yang terjadi kesalahan tanpa sengaja itu justru di ayat yang berfungsi pengingat itu. Kalau di ayat biasa bisa terjadi kesalahan, mengapa di ayat pengingat tidak bisa terjadi kesalahan?

c- Kalau kita sudah yakin bahwa nabi dan imam itu wajib makshum sebagaimana akal dan Qur an mengatakan hal itu (lihat catatan-catatan sebelum-sebelumnya), maka sudah pasti mereka tidak memiliki dosa. Jangankan dosa, kesalahan yang tidak sengaja juga tidak mungkin. Sebab kalau punya maka tidak ada umat yang akan yakin terhadap kebenaran seluruh ajaran mereka sebagaimana maklum.

d- Kalau demikian halnya, maka apa arti permintaan para nabi dan rasul as itu, atau para imam makshum itu?

Jawabannya adalah:

d-1- Nabi dan rasul itu memiliki dua derajat secara global:

d-1-a- Yang masih bisa meninggalkan yang lebih utama sekalipun tidak dosa. Maka di sini mereka meminta ampunan dari bisa dari karena telah meninggalkan yang lebih utama itu walaupun bisa juga meminta ampunan dari sisi lain seperti yang akan diterangkan pada poin berikut ini.

d-1-b- Yang tidak pernah meninggalkan yang lebih utama sekalipun tidak dosa, seperti Nabi saww dan Ahlulbait as. Di sini permintaan ampunan mereka adalah sebagai ketawadhuan dan pengecilan diri kepada Allah swt dimana sudah merupakan hal yang bukan hanya wajar melainkan wajib dilakukan. Kita juga kepada guru yang sangat kita hormati, mau bertanya juga minta maaf dulu. Padahal bertanya bukan hanya tidak utama melainkan bahkan disukai sang guru kita itu.

e- Dengan semua penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa permintaan maaf atau ampunan itu, tidak mesti dari dosa, tapi bisa dari hal-hal yang kurang utama atau bahkan dari sifat ketawadhuan dan penghormatan yang begitu tingginya.

Semoga dapat membantu, dan diterima Allah, amin. Wassalam.

Sinar Agama Syukurlah ternyata nggak sampai teler karena lelah, he he... syukurlah, selesai juga.

Bale Cetak Sagala Syukron katsiiron...jazakalloohu khoiro jazaa...





0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.