Tuesday, August 16, 2016

on Leave a Comment

Katanya Tuhan itu dekat, bahkan sangat dekat melebihi urat leher kita lalu kenapa juga Nabi Musa as harus capek2 naik bukit untuk ketemu dengan Tuhan dalam sebuah pohon?

Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/983529228427201


Salam warahmah Ustad, mohon penjelasan yg kesekian kalinya untuk pertanyaan kyk gini, biar yg lupa jadi inget & yg lagi mendekatkan diri Insyaallah dapet pencerahan.
1. Katanya Tuhan itu dekat, bahkan sangat dekat melebihi urat leher kita, tapi kenapa kok susah banget kyknya merasakan kehadiranNya/mengkhuduriNya didiri ini? Apa yg menghalangi kita untuk merasakan kehadiranNya Ustad..
2. Klo Tuhan dekat kenapa juga Nabi Musa as harus capek2 naik bukit untuk ketemu dgn Tuhan dalam sebuah pohon? Emangnya Nabi Musa as yg juga utusanNya gak bisa merasakan AdaNya/Tuhan didirinya..
Thanks sebelumnya,
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- :

a- Memang kenyataannya Tuhan lebih dekat kepada kita dari kehidupan kita sendiri. Kalau kita sulit merasakannya dalam Ilmu Hudhuri, maka hal itu disebabkan oleh diri kita sendiri yang mementingkan diri selama hidup, baik kepentingan yang haram atau sekalipun yang halal atau bahkan sekalipun yang dianjurkan seperti pahala dan surga. Karena semua itu selain Allah dan, kembali kepada diri kita sendiri dan kepentingan diri sendiri.

b- Dulu sudah sering dijelaskan bahwa orang taat pada Tuhan itu memiliki dua kelompok secara global:

b-a- Mencari kemuliaan di SISI Tuhan, di dalam surga mukminin, di dalam surga muqarrabin, lauhu al-mahfuuzh, 'arsy, Akal-satu, dan seterusnya.

Orang yang menuhankan diri seperti yang dikatakan dalam Qur an, QS: 25:43:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ

"Tidakkah kamu lihat orang-orang yang menuhankan keinginannya?"

Menuhankan diri bisa dengan menyekutukan Tuhan dalam akidah dan tauhid (dengan mengingkariNya), bisa dalam fiqih (dengan maksiat padaNya), bisa dalam cinta (dengan menyukai selainNya sekalipun halal bahkan pahala dan surga).

Karena itu pula Tuhan dalam QS: 12:106:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

"Dan tidak beriman kepada Allah dari kebanyakan orang yang beriman itu kecuali mereka musyrik (menyekutukanNya)."

Jadi, penyekutuan itu selain bisa dalam tauhid (dengan mengingkariNya atau menyekutukanNya dengan yang lain), juga bisa dalam taat (dengan maksiat padaNya) dan bahkan dalam cinta dan perhatian (sekalipun halal atau bahkan dianjurkan seperti pahala dan surga).

Kelompok ini dikatakan Mukhlishiin, yaitu yang melakukan taat hanya karena Allah tapi dengan harapan bisa mendapatkan ampunan, pahala, surga dan dijauhkan dari neraka. Mereka juga dikenal dengan hamba yang selalu takut pada tuannya atau pedagang yang selalu mencari untung (misalnya shalat dua rakaat dengan mengharap surga atau bidadari).

b-b- Mencari keterbudakan dirinya di sisi Allah. Budak yakni tidak memiliki apa-apa sekalipun kaya, atau tidak memiliki apa-apa sekalipun dirinya sendiri. Karena itu taat mereka hanya dan hanya karena Allah, bukan pahalaNya, bukan surgaNya dan semacamnya. Golongan ini hanya gila dan gila pada Tuhan semata, tapi tanpa meremehkan pahala, ampunan dan surganya. Sebab peremehan terhadap semua itu sama dengan meremehkan Tuhan penciptanya. Dalam keadaan tidak meremehkan itulah mereka hanya mentautkan hatinya kepada Allah.

Kelompok ini disebut dengan Mukhlashiin (ikhlash dalam ikhlash), bukan Mukhlishiin. Juga dikenal dengan budak/hamba yang bebas dan cinta. Yakni bebas dari selain Tuhan dan hanya cinta kepadaNya.

c- Jangan sesekali orang yang masih di tingkatan pertama, yang masih merasakan enaknya dunia halal dan takut pada api, menderatkan dirinya sendiri di tingkatan budak hakiki atau hamba yang bebas. Sebab kalau hal itu terjadi, maka akan semakin hancur dari sebelumnya.

Kasarnya, kalau kita jangankan masih melakukan maksiat atau makruh, kalaupun sudah bersih dari keduanya tapi masih menyukai dunia ini, maka akan jauh dari tingkatan paling rendahnya pencoba suluk, apalagi kalau mau dibandingkan dengan pesuluk atau apalagi para wali yang sudah sampai ke tingkatan bebas atau cinta itu.

d- Ketika kita menuhankan diri sendiri dalam tingkatan manapun dari tingkatan syirik di atas itu, baik syirik kasar atau syirik halus, maka sejauh itu pula kita tidak akan pernah merasakan kehadiranNya.

e- Sering Wahabi mengatakan bahwa ketika Tuhan lebih dekat dari urat nadi itu mengapa mesih perlu tawassul juga?

Jawabannya adalah, Tuhan memang dekat, bahkan kepada kafirin dan Fir'aun sekalipun. Tapi yang dekat adalah murkaNya. Kepada kita juga dekat sesuai dengan keadaan diri kita. Kalau banyak maksiat, maka yang lebih dekat kepada kita adalah murkaNya. Kalau sebaliknya, maka ridhaNya. Karena itu, kalau kita masih maksiat, dan/atau tidak tahu diterimanya amal-amal taat kita karena tidak bisa kita yakini keterterimaannya itu secara seratus persen karena taat kita belum tentu benar atau ikhlashnya belum tentu sudah sesuai dengan hakikatnya, maka bagaimana kita bisa mengandalkan keterdekatanNya itu sebagai keterdekatan ridhaNya dan bukan murkaNya?

Karena itulah maka tawassul itu diperlukan juga selain doa-doa yang lansung. Karena selain memang diperintahkan Tuhan (QS: 5:35), juga karena hal di atas itu. Sebab kalau yang dekat itu adalah murkaNya, maka kita bertawassul agar mendekati ridhaNya. Kalau yang dekat itu ridhaNya, maka kita bertawassul untuk kelebihdekatan ridhaNya lagi dan lagi dan lagi, begitu seterusnya karena kebaikan dan keridhaan Tuhan itu tidak terbatas.

f- Karena itulah, maka penghalang kemerasahadiran Tuhan itu adalah diri kita sendiri. Karena itulah Nabi saww bersabda:

أعدى عدوك نفسك التي بين جنبيك

"Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri."

Jadi Tuhan tetap dekat selamanya, apalagi Dia sebagai sebab bagi semua akibat dan makhlukNya, seperti arus listrik terhadap sinar lampu yang berpijar, tapi kita akan merasakah kehadiranNya itu kalau kita sudah melepaskan selainNya dari dalam hati/akal kita, sebagaimana Tuhan dalam QS: 33:4:

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ

"Allah tidak mencipta dua hati dalam satu dada."
SukaBalas221 Juli pukul 1:38

Listi Melani Zahra Allahumma sholli'ala Muhammad wa Aali Muhammad

Sinar Agama .

2- Naik bukit yang mana?

Zhaluman Jahulan Subhanallah.. Syukron Ustad, dikarenakan Ustad pernah bilang di fb ini klo ilmu husulli akan hilang & gak kebawa mati, maka mohon doanya semoga sy masih diberi kesempatan utk menghuduriNya sebelum kematian menjemput.. Amiin..

Zhaluman Jahulan Utk pertanyaan no.2 bukankah Nabi Musa as naik ke bukit thursina & ketemu Tuhan atau AdaNya Tuhan dalam pohon yg terbakar.. Juga ketika Nabi Musa as naik ke gunung Sinai meninggalkan umatnya sehabis diselamatkan dari kejaran fir'aun, smp2 umatnya berbalik kafir menyembah patung sapi (sy nonton the ten commandments Ustad).

Apakah ini mengindikasikan bahwa utk mendekatkan diri pada Tuhan kita harus mengasingkan diri..

Sinar Agama Zhaluman Jahulan: Untuk pertanyaan lanjutan antum yang dipoinkan dengan kelanjutan poin 2 di kolom di atas itu, maka:

1- Saya bertanya itu karena dalil antum seperti ini:

"2. Klo Tuhan dekat kenapa juga Nabi Musa as harus capek2 naik bukit untuk ketemu dgn Tuhan dalam sebuah pohon? Emangnya Nabi Musa as yg juga utusanNya gak bisa merasakan AdaNya/Tuhan didirinya."

a- Kalau maksud naik bukit itu yang melihat Tuhan di balik pohon, maka hal itu sebelum kenabian dan kerasulan beliau as.

b- Kalau naik bukit yang 40 hari itu, maka barulah hal itu setelah kenabian yang layak dipertanyakan dengan pertanyaan ke dua antum di atas.

2- Kalau naik bukit yang pertama, maka:

a- Nabi Musa as belum menjadi nabi/rasul.

b- Naiknya ke bukit itu untuk mencari api yang dapat menghangatkan diri dan keluarga beliau as yang sedang dalam perjalanan yang teramat sulit bersama keluarga beliau as.

c- Kedua poin di atas adalah lahiriah yang terjadi dan kita tidak bisa menakwilkannya sesuka hati pada batin kejadiannya.

d- Kalau boleh merabakan kejadiannya maka:

d-1- Api yang terlihat di atas bukit itu adalah tampak lahiriahnya.

d-2- Batiniahnya adalah api kehangatan sapaan Tuhan yang lebih jelas dari sebelum-sebelumnya. Atau api pembakar dan pemusnah terhadap selain WujudNya.

d-3- Karena nabi/rasul yang diangkat itu mesti mencapai maqam kenabian dan kerasulan dulu dengan ikhtiarnya hingga bisa diberi PANGKAT kenabian, maka sudah pasti ketika nabi Musa as itu melihat api, maka sudah tahu api yang dilihatnya tersebut.

d-4- Nah, maqam kenabian (bukan pangkatnya), adalah maqam setelah Fanaa' dan bahkan tahapan ke dua setelah fanaa'. Sebagaimana maklum bahwa perjalanan suluk itu ada empat. Pertama berakhir di Fanaa', ke dua perjalanan di antara nama-nama Tuhan, ke tiga kembali ke makhluk bersama Tuhan dan ke empat berjalan di antara makhluk bersama Tuhan. Maqam kenabian ini adalah perjalan ke empat. Karena itu sudah pasti setelah menjalani dan melewati fanaa'.

d-5- Ketika seseorang sudah mencapai maqam fanaa', maka dia tidak melihat dirinya sedetikpun dan sedikitpun. Karena itu apa saja yang dikehendaki Tuhan, akan dijalankan tanpa pertanyaan apapun.

Sinar Agama .

d-6- Karena itu maka ketika antum bertanya mengapa dan mengapa, yakni mengapa mesti naik bukit dan apalagi ditambah kata berlelah lelah, maka pertanyaan seperti ini bukan hanya teramat salah dan tidak tepat, juga terhitung kurang akhlaki kepada Sang Maha Wujud:

d-6-a- Tidak tepat karena mempertanyakan maqam fanaa' yang tidak melihat dirinya dengan bahasa orang yang sama sekali tidak tahu apa itu fanaa' alias orang yang masih asyik dan bangga dengan kenikmatan dunia dan kebaikan dirinya, baik ilmu (setidaknya dikira ilmu) atau taqwa (setidaknya dalam perkiraannya).

d-6-b- Tidak sopan dan kurang akhlaki karena sudah diketahui bahwa nabi atau calon nabi itu mesti tidak melakukan apapun kecuali sesuai dengan akal argumentatif dan perintah Tuhan dan, apalagi sudah pasti diperintah Tuhan. Karena itu mempertanyakan yang dilakukan Tuhan dengan pertanyaan tidak sopan dan lebih mengarah ke kufur, apalagi ditambah dengan kata "...harus capek2..."

Saya mengira dengan kuat, kalau antum shalat tahajjud seribu tahun dengan tangisan darah, lalu pertanyaan seperti itu muncul di hati, maka semua yang telah antum lakukan itu akan terbakar sia-sia. Kecuali kalau maksud jiwa dan hati serta akal antum adalah ingin tahu saja dan bukan bermaksud tidak sopan dan menyepelekan.

Tentu saja, maghfirah Tuhan tetap akan menyala seperti api yang dilihat nabi Musa as itu yang siap membakar dosa-dosa kita kapan dan di mana saja, kalau kita melakukan taubat yang benar, dengan ilmu dan amal yang benar dan ikhlash yang tinggi.

d-7- Tentu saja bertanya itu boleh, akan tetapi mesti sopan sekalipun di dalam akal dan hati kita, apalagi diungkapkan dalam bahasa. Kalau yang ditanyakan itu Tuhan dan perbuatannya, nabi dan perbuatannya, imam dan perbuatannya, maka mesti sopan walau di dalam hati. Tentu bagi yang sudah shahih secara periwayan lahiriahnya, seperti ayat-ayat Qur an dan hadits-hadits yang sudah diyakini shahih. Beda kalau sedang mendiskusikan keshahihan suatu penukilan atau periwayatan yang kebetulan menyebutkan tetang Tuhan dan para nabi serta perbuatan mereka. Sebab bisa saja perbuatan aneh Tuhan dan/atau nabi, bisa dijadikan tolok ukur bagi ketidakshahihan periwayatannya. Tapi kalau sudah diyakini shahih seperti Qur an, di mana pembahasan kita termasuk yang di golongan ini, maka kita tidak boleh bertanya dengan tidak sopan sekalipun di dalam hati.

Kasarnya, boleh bertanya tapi tidak boleh mempertanyakannya, atau boleh bertanya masalahnya tapi tidak boleh mempermasalahkannya.

Mencari hikmah dari apa saya yang ada dalam Qur an, memang merupakan kewajiban kita semua, tapi sekali lagi, bertanya dan bukan mempertanyakannya, bertanya masalahnya tapi bukan mempermasalahkannya.

Sinar Agama .

e- Ketika Tuhan menyapa dari atas bukit, maka:

- Sudah tentu bukit itu akan menjadi syi'ar bagi agamaNya. Dan syi'ar sangat penting bagi manusia yang mengimani apa saja yang dilakukan Tuhan dan nabiNya (yang tidak mempermasalahkannya). Menjadi syi'ar bagi masuknya umat manusia ke dalam agama Tuhan dan terhidayahinya akal yang tertutup nafsu hingga terlepas dari nafsunya.

- Begitu pula akan menjadi tempat yang diberkahi terutama bagi yang tidak mengerti dan bahkan tidak mau terbang ke alam ghaib lantaran masih bergelut (asyik menikmati) dengan alam materi sekalipun halal.

- Begitu pula mengajari manusia agar tawadhu' pada Tuhan dan kemauanNya, apa saja, baik dipahami atau tidak. Dan iman serta rasa seperti ini, sudah merupakan kebaikan dan pahala tidak terbatas bagi manusia itu sendiri.

- Apalagi cuma naik bukit, harus berkeping-keping seperti Imam Husain as juga menjadi idaman bagi para manusia yang sehat akalnya yaitu yang tunduk pada Tuhan dan lari dari hawa nafsunya, untuk selalu mengejar Tuhan dan kehadiranNya yang tidak terbatas walau ditebus dengan setriliun kesyahidan (apalagi hanya naik bukit). Itulah mengapa dikatakan dalam QS: 2:156:

وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

"Dan kepadaNya dikembalikan."

Atau di QS: 40:3:

إِلَيْهِ الْمَصِيرُ

"KepadaNya dimenjadikan."

Yakni walau dikembalikan dan bahkan dimenjadikanNya akan tetapi ada "kepada"-nya yang menunjukkan selalu kepada, alias tidak akan pernah sampai.

Jadi, tiap langkah ke bukit itu jangankan lelah, harus mati sekalipun akan tetap lezat bagi para wali. Karena ia langkah menuju Kekasih (bukan kekasih). Selangkah ke bukit, jutaan langkah di langit. Dan jangankah hanya jutaan, milyaran langkahpun tetap tidak akan pernah menyentuh dan menggapai Tuhan. Tapi para kekasih sudah semestinya untuk terus mendekati Kekasihnya.

Shalat, puasa, haji, dan semacamnya, sama sekali tidak beda dengan naik bukitnya hdh Musa as sebagai calon nabi/rasul kala itu. Mengapa harus rukuk sujud, mutar-mutar Ka'bah, lari bolak balik (kalau dikatakan mondar mandir maka sudah tidak sopan) antara Shafa dan Marwa, berlapar diri sebulan penuh dan lain-lain dari ibadah-ibadah yang mesti dilakukan secara lahiriah? Apakah (kalau dikatakan emangnya sudah tidak sopan), semua itu diperlukan Tuhan, atau diperlukan para nabi dan aulia untuk menghadirkanNya? Sama sekali tidak. Tapi kala kehendak Tuhan sudah jelas mengikatkan pada hal-hal lahiriah itu, maka para wali dan nabi, bukan hanya akan merasa memerlukannya, melainkan juga akan merasa tersanjung diperintahkan untuk melakukannya. Karena satu rukuk di bumi, sama dengan jutaan kecepatan cahaya dalam mengisra'kan diri kepadaNya.

Orang-orang kebatinan gagal di sini. Mereka tidak tahu bahwa kalau lahiriah sudah menjadi tajalli Tuhan karena kehendakNya Yang Maha Bijak dan Ilmu serta Lembut itu akan menjadi jembatan menuju alam batin dengan jutaan kelipatan. Karena ketawadhuan dan ketaatan kepadaNya dalam lahiriah, sama dengan milyaran langkah isra' menuju "kepada"-Nya. Mereka bukan hanya tidak paham, melainkan tidak sopan kepadaNya, karena merasa lebih tahu dariNya, persis seperti Iblis yang tidak memahami arti sujud kepada nabi Adam as, atau persis seperti para Wahabi yang tidak mengerti ruh Nabi saww dan siapa yang mati tetap dekat dan melihat kita semua (Islam memerintahkan salam langsung kepada Nabi saww dalam shalat -yakni salam padamu wahai Nabi saww atau assalaamu 'alaika ayyuhannabi- tapi mereka mengatakan bahwa Nabi saww telah tiada dan tongkatnya lebih berfungsi dari beliau saww, astaghfirullah).

Tidak mengerti itu wajar, tapi tidak sopan kepada Tuhan dan Nabi saww dalam nash-nash yang jelas, merupakan penghancur iman dan amal. Jangankan tidak sopan dalam hal-hal seperti itu, hanya sekedar meninggikan suara di dekat Nabi saww saja sudah menjadi penghancur amal kebaikan manusia seperti yang difirmankan di QS: 49:2:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

"Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian di atas suara Nabi saww dan janganlah kalian meneriakkan kata-kata kepadanya seperti kepada sesama kalian, karena amal-amal kalian akan jatuh/hancur tanpa kalian sadari."

Sebagian orang yang merasa berakal dan pintar berkata:

"Mengapa hdh Hajar as mondar-mandir antara bukit Shafa dan bukit Marwa, apakah tidak tahu bahwa fatamorgana yang dilihatnya pertama kali itu adalah fatamorgana di ke dua kalinya dan seterusnya sampai yang ke tujuh kalinya?"

Ya Allah, wong mata masih suka pada dunia kok bisa menilai mata batin orang yang sudah fanaa' yang tidak melihat dirinya sama sekali kecuali mau dan kehendak Tuhannya? Bagi beliau as, fatamorgana itu lahiriahnya, tapi tajalli Tuhan pada hakikatnya. Tak perduli apa maunya Tuhan dalam tajalli itu, yang penting dia dipanggil dan diapun datang. Jangankan hanya tujuh kali bolak balik, sampai hancur badannya seperti Imam Husain as sekalipun, beliau akan tetap melakukannya. Apalagi selain masalah tajalli Tuhan yang sudi memanggil beiau as itu, juga masalah demi menjaga calon nabi pada masanya, yaitu putranya sendiri Ismail as. Sebab bukan hanya Tuhan bisa saja menjadikan bukit Shafa dan Marwa itu sebagai tempat air, tapi bisa juga menjadikannya bukit es yang tidak habis digunakan bagi milyaran manusia.

Dan kebisaan itu, yaitu yang tergantung pada kehendak Allah swt itu, bisa saja terjadi pada kedatangan beliau as yang pertama ke bukit Shafa/Marwa, atau ke dua, ke tiga, ke tujuh dan seterusnya. Kalau Tuhan sendiri yang tidak menghentikan beliau as pada kebolak-balikan beliau as yang ke tujuh, maka beliau as akan terus melakukan hal itu selama masih melihat tajalli Tuhan tersebut walau badan sampai tercabik-cabik seperti Imam Husain as sekalipun. Tapi karena Tuhan menghentikan tajalliNya pada putaran ke tujuh, dan memindahkan tajalliNya pada tangisan nabi Ismail as hingga dapat menghentak hdh Hajar as, maka beliau as-pun menghentikan langkah-langkah lahiriah beliau as itu dan mengarahkan langkah lahiriah beliau as kepada sang calon nabi/rasul, yaitu nabi Ismain as. Dan di sanalah baru beliau as mendapatkan janji Tuhan yang dilihat beliau as dalam tajalli yang lahiriahnya berupa fatamorgana itu.

- Sudah tentu masih banyak sekali hikmah yang terjadi pada naik bukitnya nabi Musa as ke atas bukit pada waktu akan diangkat menjadi nabi/rasul tersebut. Tapi, selain saya tidak memiliki ilmunya, juga tangan ini sudah kelelahan menulis.

f- Semoga kita semua bisa tawadhu', bahkan bisa menjadi budak bagiNya, hingga jangankan mempertanyakanNya dalam kata, dalam hatipun tidak akan kita lakukan. Tapi Dia juga suka dan ingin kita bertanya apa saja tentang DiriNya dan PerbuatanNya, tapi dengan pertanyaan yang baik yang bisa disebut pertanyaan dan bukan mempertanyakan, bisa disebut menanyakan masalah dan bukan mempermasalahkan, amin.

Wahai para Makshumin as, sentuhlah kami semua dengan sentuhan maaf dan santunan, kalaulah kami tidak layak mendapatkan sentuhan kasih sayang dan keridhaan antum karena saking tidak berpotensinya diri ini mendapatkannya. Sudilah menyantuni kami semua hingga dapat paham ajaran antum sebagaimana mestinya dan mengamalkannya dengan sebaik-baik sesuai dengan kehendaNya. Sudailah mensyafaati kami semua dengan santun dan maaf itu ya Rasullullah (saww), ya Imam Ali (as), ya hdh Faathimah (as), ya Para Imam selanjutnya as.

Ya Allah, sujudku (kami) hanya padaMu, maka jadikanlah kami sepenuh jiwa, hati dan akal, untuk selalu bersujud kepadaMu dalam keadaan apa saja dan dalam waktu kapan saja. Dan sudilah menerima sujud kami yang Engkau inayahi sendiri itu, amin.

Sinar Agama .

3- Kalau merupakan naik bukit yang ke dua, yakni setelah menjadi nabi/rasul hingga membawa pulang kitabullah itu, maka penjelasannya seperti penjelasan di atas. Bedanya hanya bahwa di kenaikbukitan ke dua ini, lebih ekstrim dari yang pertama karena sudah menjadi nabi dan rasul.

Misalnya kalau kita tidak sopan mempertanyakannya di kenaikbukitan pertama, maka di kenaikbukitan ke dua ini akan menjadi jauh lebih tidak sopan. Kalau naik ke bukit itu merupakan panggilan dan kehendak Tuhan, maka lebih-lebih di perjalan ke naikbukitan ke dua ini. Kalau terdapat banyak sekali hikmah di kenaikbukitan pertama, maka begitu pula di kenaikbukitan ke dua ini akan lebih ekstrim lagi. Begitu pula seterusnya. Wassalam.

Zhaluman Jahulan Astagfirullaharobbi wa atuubu Illaih..

Syukron Ustad buat jawabannya yg bagaikan hantaman2 keras ke diri sy ini.

Apalah sy ini, yg blm tentu lebih baik dari mahluk yg paling hina & bodoh ini smp berani meremehkan utusanNya dikarenakan mencari jawaban utk mendekatkan diri padaNya, dikarenakan kebodohan yg belum memahami maqam fana KeNabian, dikarenakan banyaknya dosa sehingga begitu mengharap ampunanNya dgn belajar mendekatkan diri padaNya..
Mohon maaf sebesar2nya kpd hdh Musa as jika dianggap lancang walaupun setiap menulis namamu selalu kutambahkan Alaihsalam (as) demi menjaga kemuliaanmu.

Allahumma sholli 'Ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ajjil farajahum

Sinar Agama Zhaluman Jahulan, ahsantum semoga Tuhan bersama kita semua, amin.

Zhaluman Jahulan Illahi amin, Syukron Ustad






0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.