Tuesday, April 5, 2016

on Leave a Comment

Bismillaah: Hari Ulang Tahun Kelahiran Hdh Faathimah Bintu Nabi saww (20 - Jumaadi al-Tsaani, 8 tahun sebelum hijrah).

Link : https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=915849708528487&id=207119789401486

Bismillaah: Hari Ulang Tahun Kelahiran Hdh Faathimah Bintu Nabi saww (20 - Jumaadi al-Tsaani, 8 tahun sebelum hijrah).
Ikut mengucapkan hari suka dan bahagia serta ucapan selamat atas lahirnya mutiara Ilahiah Hdh Faathimah as yang sekaligus dijadikan "Hari Ibu" muslimah sedunia, pada kanjeng Nabi saww, Ahlulbait as terutama beliau as sendiri dan Imam Ali as serta Imam Mahdi as, kepada seluruh ulama dan maraaji' terutama Rahbar tercinta imam Ali Khamenei hf, kepada seluruh kaum mukminin dan muslimat di seluruh dunia terkhusus teman-teman Facebook. Semoga hari bahagian ini menjata petanda pertama sebelum kebahagiaan di akhirat dalam selimut syafaat mereka as, amin.
Ulangan dan Ringkasan Tentang Sedikit Bayang Hdh Faathimah as
1- Allah swt dalam QS: 33:33, berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
"Sesungguhnya Allah hanya ingin menepis segala kotor/dosa dari kalian Ahlulbait as dan mensucikan kalian sebersih bersihnya."
Dalam QS: 56: 77-80 juga berfirman:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80)
"Sesungguhnya dia adalah Qur an yang mulia. Ada dalam kitab terjaga. Tidak dapat disentuh kecuali yang suci. Diturunkan dari Tuhan semesta alam."
Catatan Dua Ayat di Atas:
a- Saya sudah sering menjelaskan bahwa dalam riwayat Sunni sekalipun diterangkan bahwa QS: 33:33 tentang kemakshuman Ahlulbait di atas diturunkan untuk Nabi saww, Hdh Faathimah as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Hal ini juga disaksikan oleh dua istri Nabi saww sendiri, yaitu:
a-1- 'Aisyah, di: Shahih Muslim, 2/368 (15/194 yang disyarahi Nawawi); Syawaahidu al-Tanziil, 2/33 (hadits ke: 676, 677 s/d 681 dan di hadits ke: 682-684 dimana di tiga hadits terakhir ini 'Aisyah sendiri selain menyaksikan tentang Ahlulbait as di atas dia juga menyaksikan bahwa dirinya tidak masuk di dalamnya); Mustadrak Hakik, 3/147 (dia/Hakim menshahihkan); Tafsir al-Durru al-Mantsuur, Suyuthi, 5/198-199; Dzakhaairu al-'Uqbaa, Thabari, 24; dan lain-lain yang banyak lagi.
a-2- Ummu Salama, di: Shahir Turmudzi, 5/31, hadits ke: 3258, 5/328, hadits ke: 3875, 5/361, hadits ke: 3963; Syawaahidu al-Tanziil, 2/24, hadits ke: 659, 706 - 710, 713 - 714, 717, 720, 722, 724 - 726, 729 dan seterusnya sampai semuanya mencapai 31 hadits); Tafsir Ibu Katsiir, 3/484-485; Dzakhaairu al-'Uqbaa, Thabarii, 21-22; Usdu al-Ghaabah, Ibnu Atsiir, 2/12, 3/413, 4/29; Tafsir Thabari, 22/7-8; Al-Durru al-Mantsuur, Suyuthi, 5/198; dan lain-lain yang banyak sekali.
b- Dengan penjelasan di atas (a-1 dan a-2) dapat dipastikan bahwa keluarga Nabi saww yang makshhum adalah Ahlulbait as yang diikuti orang-orang yang dikenal Syi'ah, yaitu Imam Ali as, Hdh Faathimah as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.
c- Ahlulbait as yang disebutkan di atas adalah sebagai Ahlulbait yang berfungsi sebagai sebab nuzul ayat, bukan sebagai pembatas Ahlulbait as. Sebab masih ada Ahlulbait as yang lain yang belum lahir kala itu, yaitu 9 Imam Makshum lainnya. Sebab di Shahih Bukhari (hadits ke: 7222 dan 7223) dan Shahih Muslim (hadits ke: 3393, 3394 dan 3398), disebutkan bahwa Imam atau Pemimpin itu hanya 12 orang. Sementara di hadits-hadits lain menerangkan bahwa Imam Mahdi as itu, yakni Imam yang akan datang di menjelang kiamat tiba dan menguasakan keadilan Islam yang penuh rahmat dan santun ke atas seluruh dunia, adalah dari Ahlulbait as sebagaimana sabda Nabi saww:
المهدي منا أهل البيت يصلحه الله في ليلة
"Mahdi itu dari kami Ahlulbait, Allah akan memenangkannya dalam satu hari (baca: sangat singkat)."
Hadits-hadits seperti terlalu banyak di Sunni, seperti: Tafsir al-Durru al-Mantsuur, Suyuuthi, tafsir surat: 47:16-19; Shawaa'iqu al-Muhriqah, 2/473; Mustadrak Haakim, hadits ke: 8820; Al-Musnad al-Jaami', 13/225; Jaami'u al-Ahaadiits, hadits ke: 24663; Jaami'u al-Jaami', hadits ke: 281; Sunan Ibnu Maajah, hadits ke: 4075, 4223; Musnad Ahmad Bin Hanbal, hadits ke: 610, 644; dan lain-lain yang banyak sekali.
d- Dengan semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Ahlulbait yang makshum itu ada 14 orang, yaitu Nabi saww, Hdh Faathimah as dan 12 Imam Makshum as sampai ke Imam Mahdi as yang akan keluar di kemudian hari (semoga sudah dekat kedatangan beliau as, amin.).
e- Tentang Qur an sendiri, disamping dikatakan seperti di atas itu, juga diterangkan dalam QS: 16:89:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
"Dan Kami menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Kitab (Qur an) sebagai penjelas SEGALA sesuatu dan petunjuk dan rahmat dan pembawa kabar gembira bagi semua kaum muslimin."
Jadi, Qur an itu memiliki lahir dan batin. Lahirnya yang ada di tangan kita semua. Batinnya adalah maknanya dengan segala cakupannya. Sebab maknanya menerangkan segala apa saja tanpa kecuali, baik tentang agama, keberadaan, pelanet, dan perkembangan manusia dengan segala hukumnya sampai hari kiamat (termasuk kemajuan manusia di bidang teknologi).
Qur an yang memiliki hakikat seperti itu, yakni menerangkan semuanya hal itu, berada di Lauhu al-Mahfuuzh yang tidak bisa disentuh atau digapai kecuali oleh orang yang disucikan atau makshum.
Jadi, hakikat Qur an yang menjelaskan segala hal itu, hanya diketahui secara lengkap dan benar seratus persen, oleh para makshumin as, yaitu Nabi saww dan Hdh Faathimah as serta 12 Imam Makshum as.
f- Dengan semua penjelasan di atas maka dengan pasti bahwa Hdh Faathimah bintu Nabi saww, mengetahui semua isi Qur an. Karena itu, beliau as mengetahui semua hal dan keberadaan. Karena Qur an menjelaskan semua keberadaan dan apa saja hukum yang menyangkut keberadaan itu.
2- Dalam hadits Qudsi Allah swt berfirman kepada Nabi saww:
لولاك لما خلقت الافلاك ولولا علي لما خلقتك ولولا فاطمه لما خلقتكما
"Kalau bukan karena kamu (Muhammad) maka Aku tidak mencipta alam, dan kalau bukan karena Ali, Aku tidak menciptamu dan kalau bukan karena Faathimah maka Aku tidak mencipta kalian berdua."
Catatan Hadits:
a- Dalam kitab-kitab Sunni hadits Qudsi itu juga diriwayatkan walau hanya potongan pertamanya, yaitu:
لولاك لما خلقت الافلاك
"Kalau bukan karena kamu (Muhammad) maka Aku tidak mencipta alam semesta."
b- Hadits di atas tergolong hadits yang masyhur/terkenal. Di Sunni sering dikatakan maudhu'/palsu oleh sebagian ahli hadits, akan tetapi mereka tetap mengakui kebenaran matan/isi-nya, misalnya:
قال محمد بن عبد الحي اللكنوي في كتابه (الآثار المرفوعة في الاخبار الموضوعة ج1 ص44): (قال علي القاري في تذكرة الموضوعات حديث: (لولاك لما خلقت الافلاك) قال العسقلاني موضوع كذا في الخلاصة، لكن معناه صحيح
Berkata Muhammad bin 'Abdu al-Hay al-Kunawi dalam kitabnya Aatsaar al-Marfuu'ah Fii al-Akhbaari al-Maudhuu'ah, 1/44: Berkata Ali al-Qaarii dalam kitabnya Tadzkiratu al-Maudhuu'aat: "Hadits 'Kalau bukan karena kamu Aku tidak mencipta alam', berkata al-'Asqalaanii bahwa hadits tersebut adalah maudhuu', dan begitu pula dalam kitabnya al-Khulaashah. Akan tetapi dari sisi maknanya adalah benar."
c- Sedang yang menganggapnya hadits shahih di kitab-kitab Sunni bisa dilihat di: Tafsir Mazhhari, 10/304; Tafsir Aluusii, di tafsiran QS: 78:37; Tafsir al-Nisaabuuri, tafsiran QS: 2: 252 - 254; Tafsir Haqqii, tafsiran QS: 2:164; Tafsir Ruuhu al-Bayaan, 1/25-26; dan lain-lainnya.
Rasyid Ridha dalam majalahnya al-Manaar, 14/821, berkatan:
10 - القول بأن النبي صلى الله عليه وسلم علة لخلق الكون .
المشهور المعروف عن متكلمي الأشاعرة الذين يتبعهم أكثر المسلمين
"10- Perkataan bahwa Nabi saww adalah sebab/illat penciptaan alam, dikenal secara masyhur dan terkenal di ulama ahli Kalam Asy'ari yang diikuti oleh kebanyakan kaum muslimin."
d- Sedang di kitab-kitab Syi'ah dapat dilihat di: Majma'u al-Nuurain, 187; Mustadrak Safiinatu al-Bihaar, 3/169, 8/243; dan lain-lain.
3- Ulama-ulama Sunni terutama ahlulhadits atau yang kemudia berkembang menjadi Wahabi (lahir secara tunas dari Ahmad bin Hanbal dan diteruskan oleh Ibnu Taimiyyah hingga menjadi semacam pohon, lalu diteruskan oleh Wahabi yang menjadi pohon yang jumawa dan kokoh sampai sekarang), selalu berdalil dengan ayat di QS: 51:56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan tidak Kucipta jin dan manusia kecuali untuk taat."
4- Mungkin ada ulama lain yang mengira bahwa hadits itu mengandung keghuluan (terlalu dalam pelebihan), sebab menerangkan bahwa Hdh Faathimah as lebih afdhal dan lebih tinggi dari Rasulullaah saww (na'udzubillah).
5- Semua problem itu dapat diselesaikan dengan menambah ayat di QS: 21:107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan tidak Aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk semua alam."
5- Cara Penyelesaiannya:
Menyelesaikan problem di atas dan sekaligus memahami kandungan hadits Qudsii ("...kalau bukan karena Faathimah maka tidak Kuciptakan kalian berdua -nabi Muhammad saww dan Imam Ali as"), yaitu dengan cara:
a- Pedoman Pasti Pertama.
Pedoman pasti pertama secara ayat dan riwayat serta akal sehat adalah bahwa penciptaan alam ini (termasuk manusia) sudah pasti demi kebaikannya. Dan Tuhan adalah Maha Baik/Indah. Karena itu maka sudah pasti tujuan/illat penciptaan adalah Diri Allah swt sendiri, bukan yang lainNya.
Saya sudah sering menerangkan bahwa illat/sebab penciptaan itu ada dua, Tafsiran Kalam-Filsafat dan Tafsiran Irfan. Kalau Kalam-Filsafat menerangkan penciptaan ini karena demi pencapaian kebaikan makhluk pada kebaikan. Dan kebaikan yang hakiki adalah Allah swt. Karena itu, penciptaan makhluk ini untuk dengan dengan Maha Baik. Dan dekat dengan Maha Baik itu tidak bisa selain dengan menjadi hamba dan budakNya yang, diistilahkan dengan 'ubudiyyah atau penghambaan dan ketaatan padaNya.
Jadi, ayat yang mengatakan "Tidak Kucipta jin dan manusia kecuali untuk menaati." adalah ayat yang dapat dipahami dengan uraian akal di atas. Artinya, Tuhan tidak memerlukan ketaatan dan penyembahan kita dengan firmanNya ini, sebab Dia adalah Kesempurnaan Tidak Terbatas dan tidak kurang suatu apapun apalagi dari makhlukNya sendiri. Jadi, pengambdian padaNya itu tidak lain demi kebaikan mahluk itu sendiri agar mendapatkan kesempurnaan lebih dari kesempurnaan pertamanya sewaktu awal kali diciptakanNya.
Karena itu dapat disimpulkan secara pasti bahwa tidak mungkin ada tujuan atau hikmah penciptaan selain Allah swt sendiri.
Secara tafisran Irfanpun juga demikian. Karena Tuhan tidak mencipta selain karena DiriNya sendiri sebagaimana sudah dibuktikan di catatan-catatan sebelumnya. Yaitu karena kalau Tuhan dalam mencipta disebabkan penyampaian kebaikan untuk makhluk maka perbuatan ini juga perlu tujuan. Artinya, sekalipun Tuhan tidak memerlukan apa-apa untuk DiriNya dan sekalipun harus bertujuan karena kalau tidak bertujuan dalam perbuatanNya maka akan sia-sia dimana sangat tidak mungkin dilakukanNya, hingga diambil keputusan bahwa Dia bertujuan dalam mencipta akan tetapi untuk makhlukNya, maka sekarangpun juga masih bisa dipertanyakan, yaitu kalau Tuhan dalam mencipta untuk menyampaikan kebaikan untuk makhlukNya, maka penyampaian ini sendiri punya tujuan atau tidak? Kalau punya, maka berarti Tuhan memerlukan pada yang lain, dan kalau untuk menyampaikan kebaikan pada makhlukNya maka penyampaian ke dua ini juga masih bisa dipertanyakan. Begitu seterusnya hingga tidak ada henti dan hingganya.
Karena itu Irfan mengatakan bahwa penciptaan ini karena Diri Allah swt sendiri. Yakni Allah swt memiliki sebab dalam menciptakan, yaitu DiriNya sendiri. Artinya, karena Tuhan Tidak Terbatas, maka Dia Tidak Kurang Suatu Apapun dan Maha Sempurna. Karena itu Dia tahu kalau DiriNya bisa mencipta, merahmati dan semacamnya hingga karena itulah Dia mencipta. Lebih jelasnya karena Tuhan menyukai DiriNya sendiri maka menyintai seluruh sifat dan kesempurnaanNya yang diantaranya adalah mencipta, merahmati, mengapuni, memberi rezki, memberi petunjuk dan seterusnya. Jadi, sebab penciptaan itu adalah DiriNya sendiri.
Tapi karena keMaha-anNya itulah maka semua perbuatannya pasti juga Maha. Karena itu akan memiliki hikmah pada setiap individu makhlukNya. Sala satu hikmahnya adalah menyempurnakannya makhluk itu sendiri sebagaimana dapat dijangkau oleh ilmu Kalam dan Filsafat. Tapi Kalam dan Filsafat mengiranya sebagai tujuan penciptaan sementara Irfan menyakininya sebagai hikmah.
Apapun itu, sebab/illat atau hikmah, penfokusan dari makhluk itu tidak mungkin selain DiriNya sendiri.
b- Pedoman Pasti Ke Dua.
Pedoman pasti ke dua secara ayat, riwayat dan akal sehat adalah bahwa Nabi saww itu adalah rahmat bagi segenap alam, baik yang telah lalu, sekarang dan akan datang, dan baik di dunia ini atau di akhirat, serta baik ciptaan materi atau non materi seperti para malaikat. Kandungan makna ini terdapat dengan jelas di QS: 21:107 di atas.
Kalau secara akalnya maka Nabi saww adalah nabi dan rasul terakhir. Karena itu, sudah pasti ajaran beliau saww lebih lengkapnya ajaran. Sementara yang mengemban tugas seperti ini, sudah pasti sesuai dengan tingginya kandungan ajarannya. Karena itu, sudah pasti kesiapan beliau saww melebihi para nabi dan para rasul yang lain.
c- Pedoman Pasti Ke Tiga.
Pedoman pasti ke tiga secara ayat, riwayat dan akal sehat adalah bahwa Nabi saww paling afdhalnya manusia, baik yang telah lalu atau yang akan datang, baik orang biasa atau para nabi dan rasul.
Dalilnya adalah ayat di atas yang menerangkan bahwa Nabi saww adalah rahmat bagi segenap alam semesta. Kalau untuk yang mendatang adalah bahwa beliau saww adalah utusan Tuhan untuk umat ini sampai hari kiamat. Sementara setiap utusan dan rasul, sudah pasti lebih baik dari umatnya karena kalau tidak maka tidak berasalan Tuhan Yang Maha Bijak memilih yang lebih rendah dari yang lebih tinggi dan umatnya juga akan melecehkan para nabi yang di bawah tingkat akhlaknya dari umatnya. Begitu pula filsafat kenabian yang untuk mengajari dan dicontohi, tidak akan tercapai sama sekali. Karena yang diajari lebih pintar dan yang mau dicontohi juga lebih baik dari rasul yang bersangkutan. Semua ini dalil ketidakmungkinan bahwa nabi/rasul utusan itu lebih rendah dari umatnya.
Dalil di atas untuk kelebihan Nabi saww dari semua manusia, baik muslim atau kafir. Sedang dalil khusus untuk muslimin maka cukuplah apa-apa yang diajarkan beliau saww. Karena dalam Islam diyakini bahwa pahala dari pengajaran ilmu yang bermanfaat dan terus menerus diajarkan itu, akan terus mengalir kepada pengajarnya sampai hari kiamat walau pengajarnya sudah meninggal. Karena itu, apapun kebaikan yang dilakukan kaum muslimin maka Nabi saww mendapatkan pahalanya.
d- Pedoman Pasti Ke Empat.
Pedoman pasti ke empat secara ayat, riwayat dan akal adalah bahwa Nabi saww pasti lebih tinggi dari Ahlulbait as. Hal ini karena Nabi saww adalah guru mereka as dan rahmat bagi mereka as. Jadi, apapun yang dicapai oleh Ahlulbait as adalah karena pengajaran Nabi saww hingga karena itulah beliau saww juga mendapatkan pahalanya. Jadi, setinggi apapun derajat yang dicapai oleh para Ahlulbait as, akan tertuang kepada Nabi saww juga, sementara tidak sebaliknya. Jadi, Nabi saww selalu lebih unggul dari mereka semua as.
Dalil lainnya adalah apapun yang dicapai Ahlulbait as, merupakan rahmat dari Allah swt melalui Nabi saww sesuai ayat di atas. Jadi, bagaimana mungkin yang dirahmati dan diajari secara ilmu dan amal (bukan hanya ilmu seperti guru-guru lainnya) lebih tinggi dari yang merahamati dan mengajari secara lengkap dan makshum dalam ilmu dan amal.
e- Setelah kita memperhatikan nilai-nilai dasar yang tidak bisa diganggu gugat di atas, maka kita dapat lebih mudah memahami bahwa:
e-1- Nabi saww adalah sebab/illat dari penciptaan semesta di hadits Qudsi di atas.
Karena dengan tertumpunya tujuan/hikmah penciptaan HANYA pada Allah swt sebagaimana sudah diterangkan di atas, maka kesebaban di hadits Qudsi ini, bukan kesebaban sebagai tujuan yang dalam istilah filsafat diistilahkan dengan Illat Ghaaiyyah atau Sebab Tujuan, seperti kita sekolah disebabkan ingin pandai.
Orang yang tidak jeli dalam hal ini, telah jatuh pada penghukuman hadits Qudsi di atas sebagai hadits palsu/maudhuu'. Hal itu karena mereka mengira bahwa kesebaban penciptaan di hadits Qudsi itu sebagai Sebab-Tujuan. Karena itulah mereka mencak-mencak dengan mengatakan sudah dibantah oleh Tuhan dalam QS: 51:56 di atas yaitu yang menerangkan bahwa penciptaan jin dan manusia itu untuk menaatiNya.
Kalimat: "Kalau bukan karena kamu Aku tidak mencipta alam semesta...", tidak selalu bermakna kekarenaan dan kesebaban dalam tujuan.
Kalau boleh saya dekatkan dengan kalimat keseharian kita seperti: "Kalau bukan karena ingin mengajar masyarakat desaku, maka aku tidak meneruskan sekolah."
Dalam kalimat di atas, walau tercium bau tujuan penyempurnaan yang selaran dengan penggapaian, akan tetapi maksud pastinya adalah tujuan pemberian yang selaras dengan penyempurnaan obyek yang dijadikan obyek perbuatannya.
Kalimat di atas juga mirip sekali dengan kalimat: "Kalau bukan karena kamu yang telah alim dan taqwa maka aku tidak membuat pesantren."
Jadi, pembelajaran diri di atas dan pembuatan pesantren di atas, tidak lain untuk tujuan pemberian, bukan pengambilan kesempurnaan. Memang dari sisi lain penyempurnaan, yaitu pahala dan derajat di sisi Allah, akan tetapi hal itu tidak berhubungan dengan bahasan kita dalam illat yang diucapkan dan menjadi tujuan perbuatan atau setidaknya sebagian tujuannya.
Dengan semua penjelasan di atas itu, maka dapat dipahami bahwa penciptaan Nabi saww adalah tujuan/hikmah pemberian, bukan penyempurnaan. Karena selain Allah swt, tidak mungkin dan tidak boleh jadi tujuan penciptaan sekalipun hal itu adalah kanjeng Nabi saww sendiri. Memang Nabi saww paling hebat dari semua, akan tetapi tujuan dan hikmah tetap Allah swt sendiri.
Selain itu kita juga dapat memahami bahwa sebab/illat di hadits Qudsi itu adalah illat pemberian. Jadi, kalau bukan karena Nabi saww yang akan menjadi wasilah/perantaraan bagi perahmatan Tuhan untuk semua makhluk, maka Tuhan tidak akan mencipta alam semesta ini.
Lebih gamblangnya, karena Tuhan tahu dalam ilmuNya Yang Tidak Terbatas itu, maka Dia tahu bahwa akan ada manusia yang menggapai derajat paling afdhalnya makhluk yaitu kanjeng Nabi saww. Dan karena itulah maka Tuhan mencipta alam semesta sebagai obyek dari penyaluran rahmatNya yang dilewatkan dari paling afdhalnya khalifahNya.
Saya juga sudah sering menjelaskan bahwa Maqam Khalifah itu maqam yang diingini semua malaikat hingga karena itu semua malaikat berkata kepada Tuhan setelah mempermasalahkan penciptaan khalifah (dari jenis manusia) bahwa diri mereka selalu bertasbih dan mensucikan Tuhan (artinya mereka mengajukan diri mereka mengganti manusia yang dinilai tidak bisa menjadi khalifah Tuhan). Karena itu, maqam ini jauh lebih tinggi dari semua maqam yang dimiliki semua malaikat. Karena itu pemilik maqam khilafah ini selalu dituruni seluruh malaikat dengan membawa SEGALA urusan untuk dilaporkan pada setiap malam Lailatu al-Qadr.
Kalau ingin ditulis dalam bentuk kasaran, maka bisa dikatakan: "Kalau tidak ada makhluk yang bisa mencapai derajat paling tingginya khalifah seperti nabi Muhammad, maka penciptaan alam ini tidak sempurna dimana tidak akan sesuai dengan sifat Maha SempurnaNya.
Saya juga sudah sering menjalaskan bahwa ketika seseorang sampai pada derajat fanaa' dalam fanaa' dan insan kamil, maka berarti sudah melewati semua derajat malakuut (para malaikat) dan jabaruut (Akal-akhir/Lauhulmahfuuzh sampai Akal-pertama).
Hingga karena itu, maka Nabi saww yang sampai pada derajat paling tingginya Insan Kamil, maka sudah pasti melewati semua derajat-derajat itu bahkan semua derajat Insan Kamil yang lain. Karena itu, maka beliau saww adalah wasilah/perantara bagi semua makhlukNya, baik materi, malakuut, jabaruut dan semua Insan Kamil.
Perlu diingat, bahwa Insan Kamil itu adalah manusia yang juga materi dan non materi. Karena itu, kalau sampai derajat Fanaa' dalam Fanaa' di Akal-satu, maka ruh non materinya memanjang dari materi sampai ke Akal-satu, tapi bukan memanjangnya materi sebagaimana maklum. Karena itu bisa menjadi khalifah Tuhan untuk segenap makhluk dan malaikat tidak bisa. Yakni bisa bersentuhan dengan semua makhluk tanpa perantara.
Dan satu lagi yang jangan pernah dilupakan bahwa dahulu mendahului dalam non materi itu tidak terikat ruang dan waktu seperti materi. Karena itu, dahulu mendahului di non materi adalah dahulu mendahului secara hakikat dan sama sekali tidak bersentuhan dengan waktu. Jadi, siapa yang paling tinggi maka dialah yang paling awal dan dahulu dalam keberadaan. Karena itu tidak heran kalau Nabi saww menjawab Jabir yang bertanya apa yang pertama kali dicipta Allah dengan jawaban beliau saww: "Nur Nabimu ini wahai Jabir."
Jadi, siapa yang dalam perjalanan balik (wa ilaihi raaji'unn) mencapat derajat tertinggi maka dia akan menjadi lebih awal secara hakikat dari yang didahului sekalipun dalam keberadaan sewaktu penciptaan (innaa lillaah) yang didahului ini lebih dulu ada dalam waktu atau bahkan dalam derajat pewujudan non materi sekalipun.
e-2- Imam Ali as Sebab/illat Bagi Penciptaan Nabi saww.
Kalau Nabi saww adalah sebab/illat pemberian, maka potongan hadits Qudsi setelahnya lebih mudah dipahami, yaitu bahwa:
"... dan kalau bukan karena Ali maka Aku tidak menciptakanmu"
Hal itu karena pemberian rahmat dan berkah melalui Nabi saww, yang mana paling besarnya adalah Qur an dengan hakikat lahir batinnya itu, dan sampai pada hari kiamat itu, akan segera putus dengan wafatnya Nabi saww. Karena itu maka pemberian itu akan menjadi tidak sempurna, sebab terputus jauh-jauh sebelum kiamat tiba sementara Tuhan Maha Sempurna (maka tidak cocok dan tidak klop).
Karena itu, kalau bukan karena Imam Ali as, maka keberadaan dan pewujudan kanjeng Nabi saww tidak sempurna dalam pemberian rahmat dan juga hidayat kepada semua alam.
e-3- Hdh Faathimah as Sebab/illat Bagi Pewujudan Nabi saww dan Imam Ali as.
Kalau Nabi saww dan Imam Ali as sebab dalam pemberian bukan tujuan, maka memahami potongan terakhirnya juga akan lebih mudah, yaitu yang mengatakan:
"....dan kalau bukan karena Faathimah maka Aku tidak akan menciptakan kalian berdua."
Hal itu karena pemberian rahmat dan juga hidayah melalui Nabi saww dan Imam Ali as itu, akan segera putus kalau keduanya telah wafat. Hal ini jelas tidak sempurna sementara Tuhan Maha Sempurna.
Karena itu mesti ada penerus dari pemberian keberkahan dan hidayah itu sampai hari kiamat. Dan para penerus itu mesti lelaki supaya sempurna. Karena kalau wanita, tidak bisa menyalurkan rahmat dan hidayah secara maksimal sebagaimana maklum.
Sementara dalam Ilmu Allah swt, wanita yang paling agung sesuai ikhtiarnya sendiri dan sampai ke tingkat makshum, adalah Hdh Faathimah as dimana hanya beliau as yang bisa menjadi pendamping Imam Ali as. Karena hanya beliau as yang bisa mendidik anak-anak dengan ilmu dan perbuatan lengkap dan benar seratus persen (makshum).
Memang didikan makshum belum tentu melahirkan makshum, TAPI PENDIDIKAN TIDAK MAKSHUM SUDAH PASTI TIDAK AKAN MELAHIRKAN MAKSHUM (karena itu sangat heran bagi yang percaya Imam Mahdi as tapi tidak meyakini sudah lahir dan bahkan akan lahir nanti, tentu saja di samping dalil-dalil lainnya seperti riwayat kelahiran beliau as dan semacamnya). Tapi Allah swt yang Maha Tahu sebelum penciptaan sekalipun, sudah tahu bahwa ada dari keturunan mereka as yang mencapai derajat makshum sesuai dengan ikhtiar mereka sendiri, seperti Imam Hasan as, Imam Husain as, dan para imam makshum setelahnya.
Dengan semua Ilmu Tuhan itulah Dia mengatakan bahwa sebab pemberian itu tidak akan bisa terus sampai hari kiamat tiba, kalau tidak ada Hdh Faathimah as. Karena tidak ada yang akan melahirkan para orang taqwa yang sampai ke derajat makshum sesuai dengan ikhtiarnya sendiri.
e-4- Pelengkap:
Sebagaimana sudah sering dijelaskan bahwa semua pencapaian makshumin (Nabi saww dan Ahlulbait as) adalah dengan ikhtiar. Hal itu karena yang terpuji ketika mencapai derajat tinggi itu adalah yang melakukan dengan ikhtiar, bukan diberi seperti robot dan komputer.
Begitu pula kalau semua diberi Tuhan sebagaimana diyakini dalam keyakinan orang-orang yang meyakini bahwa semuanya sudah ditentukan Tuhan, maka akal, agam dan surga-neraka tidak akan berguna lagi sebagaimana sudah sering dijelaskan. Silahkan rujuk banyak catatan alfakir yang menerangkan hal ini. Wassalam.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
36 komentar
Komentar

Apit Sanjaya Salam. Ijin bertanya Ustadz. Nabi saw. dan ahlulbait as. yang maksum kan mampu mencapai Al Qur'an bathin (Lauhul Mahfudz). Artinya mereka mengetahui "segalanya". Yang hendak saya tanyakan (dan juga sering ditanyakan wahabi) adalah, bila mereka memiliki pengwtahuan ghaib, mengapa mereka bisa teraniaya, diracun dan lain lain. Padahal ada ayat di surat Tempat yang tertinggi (Al-'A`rāf):188 - Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". Mohon pencerahannya Ustadz.

Fernand Sonojoyo salam ustadz.....semoga ustadz selalu mendapat hidayah yg melimpah. mohon ijin bertanya ustad, bahwa iktiar baik buruknya manusia itu 100 persen di ketahui oleh Tuhan awal dan akhirnya, yang ingin saya tanyakan apakah iktiar itu hanya satu tujuan yang di ketahui oleh Tuhan atau iktiar itu milyaran kemungkinannya yang di ketahui oleh Tuhan, mohon pencerahannya dari ustsdz

Sinar Agama Apit Sanjaya, : Ahsantum pertanyaan antum ini termasuk pertanyaan yang bagus. Tapi mungkin karena antum baru berteman dengan kita-kita di akun/page ini maka belum tahu kalau hal tersebut sudah pernah ditulis dan diterangkan. Ulangan dan ringkasannya seperti berikut:

1- Jangan lupa bahwa semua dalil yang menghasilkan pengetahuan atas semua hal di atas atau yang sering disajikan di akun ini adalah dalil qath'ii atau dalil pasti alias NASH yang SHAARIH/gamblang tanpa keraguan sedikitpun. Apalagi kalau ditambah ayat di QS: 6:105:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

"Dan katakan (Muhammad): 'Berbuatlah kalian -sesuka hati- maka perbuatan kalian itu akan dilihat Allah dan RasululNya dan orang-orang mukmin, da kemudian kalian akan dikembalikan kepada Yang Maha Tahu Yang Ghaib dan Yang Terang, lalu mengabarkan kepada kalian terhadap apa-apa yang kalian lakukan."

Kalau yang di-dan-kan pada Nabi saww dan mukminin di ayat tersebut adalah "penglihatan Tuhan" yang tidak tertutupi apapun seperti keghaiban, kesendirian, dalam hati dan semacamnya, maka berarti Nabi saww dan mukminin akan melihatnya juga. Tapi karena kenyataannya tidak semua mukmin melihatnya, maka sudah pasti mukmin yang hakiki. Dan karena para Imam as adalah Imamnya orang-orang mukminin, baik hakiki atau tidak, maka setidaknya kita dapat memastikan bahwa para Imam Makshum as juga melihat sepertimana Nabi saww melihat yang sepertimana Allah swt melihat.

Tentu saja beda antara Tuhan dan Nabi saww-mukmin jelas ada, yaitu kalau Tuhan melihatnya secara mandiri tapi kalau Nabi saww-mukmin, melihatnya karena pemberian Allah swt.

Kesimpulan dari poin (1) ini adalah bahwa para Makshumin as (Nabi saww dan Ahlulbait as), melihat dan mengetahui apa saja tentang makhluk ini dengan ijin dan pemberian Allah swt atas ketaqwaan mereka as dan janji Allah swt sendiri seperti di QS: 2:282:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Dan bertaqwalah kalian kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kalian, dan Allah itu Maha Mengetahui SEGALA sesuatu."

Janji pengajaran ilmu di atas sangat mutlak, terlebih setelah ditutup ayatnya dengan "dan sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui SEGALA sesuatu.". Ini artinya, yang akan diajarkan Allah pada orang yang taqwa itu bukan hanya tentang agama, melainkan tentang apa saja sesuai dengan kelayakannya. Sementara kita yakin bahwa Nabi saww dan para Imam Makshum as bukan hanya orang taqwa melainkan guru dan maula serta penguasa para orang-orang yang taqwa itu.

2- Saya sudah sering menjelaskan bahwa Insan Kamil itu adalah yang Fanaa', bahkan Fanaa' dalam Fanaa'. Fanaa' artinya tidak menyukai apapun selain Allah swt bahkan dirinya sendiri. Fanaa' adalah tidak melihat apapun dan mementingkan apapun selain Allah swt. Fanaa' adalah tidak merasakan keberadaan dirinya sendiri dan hanya merasa bahwa yang ada dan penting itu hanya Allah.

Nah, kalau Fanaa' seperti itu, maka kalau capaiannya dipandang oleh yang bukan Fanaa', maka jelas akan jungkir balik. Hal ini persis seperti kalau para nabi/rasul as mengajarkan tentang pertolongan Allah pada orang-orang mukmin, tapi mereka menderita penjajahan puluhan tahun seperti Bani Israil (sebelum diselamatkan nabi Musa as), atau nabi/rasulnya dihinakan, dizhalimi dan bahkan dibunuh, lalu orang-orang kafir berkata:

"Kalau kamu benar, mintalah pertolongan Allah supaya menolongmu tidak terhinakan, tidak terzhalimi, tidak dikuasai dan tidak dibunuh seperti sekarang."

Atau kita lihat di ayat-ayat juga perkataan yang semaksud dengan kalimat berikut ini:

"Kamu (nabi/rasul) pergilah sendiri berperang melawan musuh itu bersama Tuhanmu dan kami menunggu di sini."

3- Sudah berulang kali saya terangkan proses menjadi Insan Kamil, yaitu:

a- Tidak melakukan dosa. Sudah tentu tahu dulu apa kewajibannya, yakni tahu fiqih yang berhubungan dengan seluruh perbuatannya sehari-hari, secara lengkap.

b- Tidak melakukan makruh.

c- Tidak menyukai yang mubah.

d- Tidak menyukai yang baik sekalipun surga, karena harus hanya menyukai Allah swt.

e- Tidak menyukai yang sangat baik seperti derajat 'Arsy (lauhu al-mahfuuzh) yang ada di tingkatan pertama di atas surga.

f- Tidak menyukai apapun derajat di atas 'Arsy itu. Begitu seterusnya sampai ke Akal-satu.

g- Tidak menyukai Akal-satu karena hanya menyukai Allah swt.

h- Tidak menyukai apapun capaian ilmu dan derajat apapun, karena hanya menyukai Allah swt.

i- Ketika tidak menyukai apapun selain Allah pada tingkatan yang sudah tidak ada lagi makhluk yang menhalanginya dari Allah atau yang menjarakinya dariNya, maka inilah maqam Fanaa' itu.

j- Ketika tidak menyukai juga perasaan Fanaa'nya itu, maka inilah yang disebut dengan Fanaa' mutlak atau Fanaa'nya Fanaa' atau Fanaa' dalam Fanaa'.

k- Setelah Fanaa' dalam Fanaa' maka orang seperti ini sudah bisa dikatakan Insan Kamil, tapi masih yang paling rendahnya. Karena masih ada tiga tingkatan perjalanan lagi, yaitu perjalanan dari Allah ke Allah, dari Allah ke makhluk bersama Allah, dari makhluk ke Allah bersama makhluk. Lihat banyak catatan sebelumnya seperti "Empat Perjalanan".

l- Catatan:

j-1- Kalau di tingkatan karamat saja sudah suka, maka seseorang tidak akan naik ke atasnya. Atau suka surga ketika mencapainya, maka dia tidak akan naik ke 'Arsy. Begitu selanjutnya.

j-2- Ketika para pesuluk itu semakin naik, maka semakin menon-materi. Dan karenanya keterikatannya semakin sedikit.

j-3- Ketika para pesuluk itu mencapai Akal-satu, maka keterikatannya dan kepemilikannya semakin sedikit dan bisa dikatakan tinggal satu saja, yaitu dirinya sendiri.

j-4- Kerena itu, menjadi pesuluk sama dengan menjadi tidak memiliki apa-apa.

j-5- Ketika pesuluk itu sampai ke tingkatan Fanaa', maka berarti sudah tidak tersisa lagi apapun dari kepemilikannya. Satu saja yang tersisa, yaitu merasakan keFanaa'-annya walau tidak sebesar perasaan-perasaan sebelumnya (ingat semua perasaan yang saya maksudkan di tingkatan ini bahkan sejak dari 'Arsy, sudah bukan perasaan hewani yang ada di tingkatan ruhani-materi atau ruh-daya-rasa, sebab yang di tingkatan 'Arsy ke atas dan di tingkatan itu ke atas, sudah tidak lagi terpengaruh oleh perasaan hewani atau kehidupan yang berhubungan dengan materi seperti daya-rasa atau daya-hewani itu).

j-6- Orang yang sudah Fanaa' dan masih memiliki rasa keFanaa'-annya itu mesti berjuang lagi meniadakan hingga akhirnya tidak tersisa lagi apapun rasa kepemilikan (apalagi menyukainya). Inilah yang dikatakan maqam Fanaa' dalam Fanaa'.


Sinar Agama .

4- Dari semua penjelasan ulangan di atas dapat dipahami bahwa Insan Kamil itu adalah TIDAK MEMILIKI APA-APA, inilah yang dikatakan sebagai BUDAK TUHAN atau HAMBA TUHAN. Budak yakni tidak memiliki apapun karena yang dimilikinya hanya milik tuannya. Jadi, Insan Kamil tidak merasa memiliki apapun. Dan ketidakmerasaannya itu ketidakmerasaan Hudhuri bukan Hushuli. Hudhuri yakni menyata dalam jati diri dan dzat mereka. Tidak Hushuli alias tidak digambarkan sebagaimana kita menggambarkan dan mengkhayalkan ketidakpemilikan dan ketidaksukaan kepada selain Allah hingga kita bisa diskusi seperti ini.

5- Dengan semua itu dapat diingat kembali penjelasan yang lalu itu bahwa menjadi Insan Kamil adalah menjadi selain Tuhan secara kamil. Jadi, kalau Tuhan Pemilik Secara Mutlak, maka Hamba Tuhan atau Insan Kamil adalah Bukan Pemilik Secara Mutlak.

6- Dengan semua itu juga dapat diingat kembali bahwa menyempurnanya manusia itu adalah menjadi tidak memilikinya, bukan bahagia memiliki atau apalagi bangga hingga main karamat misalnya yang mana sudah sering dijelaskan bahwa orang yang suka pada karamat itu dalam Irfan diistilahkan sebagai Murtaadhiin alias Ahli Olah Raga Batin seperti pada pendeta Budha misalnya. Jadi, sekalipun seorang muslim dengan ketaatan dan ibadah-ibadahnya mencapai karamat misalnya, maka kalau dia menyukainya, diistilahkan sebagai Murtaadhiin atau Ahli Tapa, bukan pesuluk. Sebab pesuluk berproses untuk tidak memiliki apa-apa.

7- Tidak memiliki apa-apa bukan tidak memiliki pada kenyataannya. Sebab setiap meninggi sudah pasti lebih hebat dari tingkatan sebelumnya. Tapi kelebihan apapun yang dimilikinya, tidak disukainya. Karena hati, jiwa dan ruhnya hanya berusaha menyintai Allah swt semata. Bagi mereka, melirik kepada selain Tuhan adalah kemusyrikan yang nyata. Yakni musyrik dalam cinta dan suka.

Karena itulah sering orang yang mencapai tingkatan karamat katakkanlah, mandek di sini. Karena dia merasa memiliki. Saya sudah pernah menulis kebingungan saya dan jawaban rileksnya ayatullah Jawadi Omuli hf ketika saya tanya dalam telpon (nukilan maksud dan bukan leterleks kata-kata):

Tanyaku:

"Bukankah orang yang sudah mencapai tingkatan Barzakh, bisa mengetahui semua tentang alam materi dan bisa melakukan apapun di alam materi ini -seijin Tuhan atau sesistem Tuhan- karena sudah mencapai tingkatan sebabnya materi seperti berpindah ke tempat lain sekejap mata dan apapun jenis karamat. Lalu apa bedanya dengan orang yang sudah pulang dari Perjalanan Tiga setelah Fanaa' di Perjalan Pertama seperti para nabi/rasul as yang melakukan mukjizat?"

Dengan rileks dan satu kata beliau hf menjawab:

"Kalau yang baru mencapai barzakh/malakuut itu dia merasa mengerjakannya sendiri dengan pertolongan Tuhan, tapi yang sudah di Perjalanan Tiga itu sama sekali tidak merasakannya (karena hanya merasakan bahwa Tuhan yang melakukannya)."

Pertanyaan yang tersimpan sebegitu lama dan sebegitu menghimpitnya di dalam dada ana yang penuh hijab itu, hanya dijawab dalam sekejap tanpa pikir oleh beliau hf. Jawaban itu tidak akan dapat dimengerti dengan baik, kecuali sudah matang di filsafat dan irfan yang sudah diringkaskan di atas itu.


Sinar Agama .

8- Dengan semua penjelasan di atas maka ayat ini (QS: 7:188) yakni ayat yang antum tanyakan itu, dapat dengan lebih baik dipahami:

قُل لاَّ أمْلِكُ لِنَفْسِى نَفْعاً وَ لاَ ضَرَّاً إلاّ مَا شَآءَ اللهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِىَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إلاّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوم يُؤْمِنُونَ

"Katakanlah (Muhammad): 'Aku tidak memiliki apa-apapun manfaat dan mudharat untuk diriku kecuali yang dikehendaki Allah. Kalau aku tahu rahasia ghaib maka aku akan menumpuk kebaikan (harta) dan aku tidak akan terkena bala. Tidaklah aku ini kecuali pemberi peringatan dan pembawa berita gembira untuk orang-orang yang beriman."

Oooooh indahnya ayat di atas. Oooooh kanjeng Nabi saww, salam padamu, terimalah sungkem kami di kaki mubarakmu wahai kekasih Tuhan. Wahai yang memilih apapun derita untuk diri dan Ahlulbaiitnya karena keridhaanNya.

Catatan Ayat:

1- Nabi saww tanpa disuruh Tuhan, tidak akan melakukan atau mengatakan apapun. Inilah tingkatan Fanaa' dalam Fanaa' itu. Karena itu Tuhan yang memerintahkan pada beliau saww dengan ayatNya: "Katakan (Muhammad): '....'. "

2- Dalam ayat lain (QS: 53:3-4), Tuhan mengatakan:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

"Dan dia (Muhammad) tidak berbicara apapun dari hawa/diri-nya. Sesungguhnya tiadalah (semua itu) kecuali wahyu yang telah diwahyukan kepadanya."

Jadi, semua ucapan dan prilaku Nabi saww adalah wahyu Allah swt yakni atas perintahNya.

3- Perintah atau wahyu di sini tidak memakai kata-kata karena Tuhan bukan materi hingga perlu pada huruf-huruf. Jadi, huruf-huruf itu muncul di permukaan batin Nabi saww setelah mendapatkan ilmu/wahyu Hudhuri dari Allah swt.

4- Jangan lupa juga bahwa wahyu itu ada yang ilmu dan ada yang syari'at. Yang syari'at ini yang dikenal dengan kitab. Tapi wahyu ilmu walaupun sebagiannya syari'at juga bisa berupa penjelasan dan perincian syari'at atau obyek-obyek syari'at seperti tentang alam semesta ini.

5- Ayat di atas itu (QS: 7:188) bukan hanya maqam Fanaa', tapi Fanaa'nya Fanaa' atau Fanaa' dala, Fanaa'. Karena Nabi saww bukan hanya tidak merasa dan mengucapkan kata: "Katakanlah (Muhammad): 'Aku tidak memiliki apa-apapun manfaat dan mudharat untuk diriku kecuali yang dikehendaki Allah. ..." , tapi dalam mengatakannya juga tidak merasa memiliki hingga karena itulah Tuhan mewahyukan pada beliau saww untuk mengatakan kalimat "Aku tidak memiliki apa-apapun manfaat dan mudharat untuk diriku kecuali yang dikehendaki Allah...."

Jadi, untuk mengatakan "tidak punya" saja beliau saww tidak merasa memilikinya. Karena itu tidak akan mengatakannya kecuali dikehendaki Allah.

6- Kalau mengatakan "tidak punya" saja sudah tidak dirasakan sebagai milik beliau saww, apalagi kandungannya dan kandungan dari kalimat-kalimat berikutnya yang mengatakan: "Aku tidak memiliki apa-apapun manfaat dan mudharat untuk diriku kecuali yang dikehendaki Allah. Kalau aku tahu rahasia ghaib maka aku akan menumpuk kebaikan (harta) dan aku tidak akan terkena bala. Tidaklah aku ini kecuali pemberi peringatan dan pembawa berita gembira untuk orang-orang yang beriman."

7- Jadi, Nabi saww yang sudah tidak merasa memiliki apapun secara mutlak dan Hudhuri (bukan Hushuli lagi) maka apapun yang akan dilakukan beliau tergantung sepenuhnya pada apa yang dikehendaki Tuhan, baik mengatakan "tidak punya apapun" apalagi yang lain-lainnya. Karena itu, kalaupun beliau saww mengetahui apa yang akan menimpa beliau saww dari kebaikan atau keburukan, tapi kalau tidak diperintah oleh Allah swt, maka beliau saww tidak akan melakukannya. Apalagi hanya untuk mencari khairaat keduniaan dan harta benda.

Karena sebab nuzul dari ayat itu adalah perkataan orang-orang kafir yang berkata kepada beliau saww bahwa kalau beliau saww kekasih dan uturan Allah swt yang mengetahui segala hal, maka mestinya kaya karena tahu kapan usaha itu akan berhasil dan tidak akan sakit karena bisa menghindari sebab penyakit sebelum datang karena sudah diketahui kedatangannya.

Jadi, khairaat atau khair di ayat itu adalah khairaat dunia atau kebaikan dunia seperti harta benda dan sehat serta tidak terkena bala dan kerugian apapun.

8- Ingat, bahwa yang diterangkan di atas itu bukan determinisme atau jabariah hingga dikatakan bahwa Nabi saww seperti robot misalnya. Tidak demikian. Karena yang kita bahas di sini dari kepemilikan atau tidaknya, hanya dalam alam ilmu Hudhurinya, bukan dalam perbuatannya. Yakni hanya dalam niatnya bukan dalam lahiriah perbuatannya.

Perbuatannya jelas wajib berikhtiar sebagaimana maklum. Jadi, Nabi saww juga seperti orang lain yang wajib melakukan shalat dan ketaatan lainnya sesuai dengan ikhtiar dan menjauhi seluruh maksiat juga dengan ikhtiar. Tapi dalam niat dan ilmu, teramat jauh apa yang dilakukan kita dari yang dilakukan beliau saww.

Jangankan kita yang masih bercikutat di alam materi ini, yang sudah pesuluk dan sampai ke derajat Barzakh/malakuut sekalipun, masih jauh dari Nabi saww sebagaimana sudah diterangkan dalam bentuk tanya jawabku dengan gurunya para guru (ayatullah Jawadi Omuli hf) di atas.

Dengan kata yang lebih kasar adalah: Di tingkatan alam badani materi, Nabi saww melakukan apapun sesuai dengan ikhtiar beliau saww, baik mau taatu atau mau maksiat dimana beliau saww memilih taat sepenuhnya. Sedang di tingkatan Fanaa', beliau tidak merasakan kepemilikan apapun.

9- Penutup:
Semoga penjelasan ulangan di atas dapat membantu antum dan semua ikhwan baik yang sudah pernah membaca penjelasan yang sama atau belum dan semoga semuanya diterima Allah, amin. Wassalam.


Sinar Agama Fernand Sonojoyo, sudah pasti yang diketahui Tuhan dengan milyaran kemungkinan pilihan dan akibatnya dan juga yang dipilih manusia di pilihan finalnya dan sekaligus akibatnya.
Fernand Sonojoyo terimakasih ustadz atas jawaban ini
Andika

Tulis balasan...

Hidayat Constantian Allahumma shallii 'alaa Muhammad wa aali Muhammad

Apit Sanjaya Terima kasih Ustadz atas penjelasannya. Nabi saw. dan maksumin as. melakukan segala sesuatu atas perintah Allah swt. Namun yang saya tanyakan lebih lanjut adalah kenapa Allah tidak memerintahkan mereka untuk mengkampanyekan Tafsir Qur'an dan agama yang benar kepada seluruh manusia supaya satu pemahaman, dengan menyingkirkan musuh musuh mereka? Kalau bagi mereka sendiri barangkali mendapat berbagai cobaan dan penderitaan tidak masalah karena mereka hanya ingin menjalankan perintah Allah, namun bagi umat manusia, pecahnya pemahaman keagamaan agama samawi tentu menyebabkan bencana sampai Imam Mahdi as. muncul. Karena tidak ada maksumin yang bisa memberitahukan pada manusia tafsir Al Qur'an yang benar itu seperti apa.

Sinar Agama Apit Sanjaya, antum kok bisa tahu kalau Tuhan tidak memerintahkan dalam Qur an untuk mengikuti Ahlulbait as? He he... terlalu banyak ayat yang menyuruh kita untuk merujuk pada Ahlulbait as dan imam makshum as.

Ayat-ayat tentang keluarga suci dan imamah ini teramat banyak. Hadits juga begitu walau di hadits-hadits Sunni.

1- Contoh ayatnya seperti:

- QS: 42:23:

قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى

"Katakan (Muhammad): 'Aku tidak minta upah apapun (dari dakwahku) selain menyintai keluarga (ku)."

- QS: 4:59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan (taatilah pula) pemimpin di antara kalian. Kalau kalian berselisih dalam sesuatu maka kembalikan pada Allah dan Rasul."

Jadi, kalau berselisih tentang apapun termasuk imamah ini, maka kembalikan ke Qur an dan Hadits.

- QS: 76:24:

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا

"Maka sabarlah dengan hukum Tuhanmu dan jangan taati orang yang memiliki dosa (tidak makshum) dan orang-orang kafir."

- QS: 5:55:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

"Sesungguhnya penguasa kalian HANYA Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman yang menegakkan shalat dan membayar zakat dikala sedang rukuk."

- QS: 33:33:

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

"Sesungguhnya Allah hanya ingin menepis dosa dari kalian Ahlulbait dan mensucikan kalian sebersih bersihnya."

2- Contoh Haditsnya (nukilan maksud, bukan terjemahan leterlesk):

"Setelah aku (Muhammad) ada dua belas imam/pemimpin yang semuanya dari Quraisy" (Bukhari-Muslim).

"Kutinggalkan dua hal berat pada kalian yang pertama Kitabullah dan yang ke dua Ahlulbaitku. Kuingatkan kalian pada Ahlulbaitku, kuingatkan kalian pada Ahlulbaitku, kuingatkan kalian pada Ahlulbaitku." (Shahih Muslim).

"Ahlulbaitku itu bagai perahu nabi Nuh (as) barang siapa menaikinya maka selamat dan barang siapa mengabaikannya maka akan celaka." (Mustadrak).

3- Kesimpulan: Masih banyak ayat dan terlalu banyak hadits yang memerintahkan kita dengan jelas dan tanpa takwil-takwil untuk memiliki imam makshum dan tidak memilih imam yang tidak makshum, yang makshum itu HANYA Ahlulbait as dimana mereka ini wajib ditaati dan hanya 12 orang (tentu ditambah Hdh Faathimah as sesuai hadits-hadits dan ayat walau beliau as bukan imam karena perempuan tidak bisa jadi imam) dan seperti perahu nabi Nuh as serta merupakan salah satu dari dua titipan Nabi saww kepada umat yang mana sampai diulang tiga dalam hadits beliau saww tentang penitipan Ahlulbait as ini.
Lihat Terjemahan

Apit Sanjaya Iya Ustadz saya juga pakai argumen2 di atas. Tapi tetap aja itu tidak seinstant uud 1945 yang menggunakan kalimat baku sekali. Tetap aja antar ayat harus dihubung hubungkan, menyingkirkan hadits2 yang membawa penafsiran berbeda, mengetahui apa bagian kalimat tersebut turun bebarengan dengan kalimat sebelum dan sesudah apa tidak dan lain sebagainya. Seperti ayat tentang wudhu, kalau seluruh kaum muslimin sepakat bacanya "arjulikum" bukan "arjulakum" maka semua kaum muslimin pasti sepakat kaki itu harus diusap bukan dibasuh.

Sinar Agama Apit Sanjaya, emangnya tidak bisa dibaca arjulakum dalam Syi'ah? Emangnya kalau arjulakan terus dibasuh?

Apit Sanjaya Menurut buku yang saya baca ada dua bacaan. Memang arjulakum pun masih diartikan usap karena terpisah dalam dua anak kalimat yang berbeda dan sebelumnya ada "bi" (mohon maaf Ustadz saya tidak paham bahasa arab, hanya mengingat - ingat yang saya dengar, maaf kalau keliru). Tapi dengan penggunaan kata itu jadi ada celah untuk diperdebatkan.

Sinar Agama Apit Sanjaya, kalau antum tidak mengerti bahasa Arab maka jangan sama sekali berkomentar dan menilai Qur an. Karena antum akan terhempas lebih cepat dari kecepatan cahaya. Bi atau apapun tidak mencelahi makna usap kepada makna basuh. Karena bi tidak mesti memberikan efek bacaan kasrah dalam bahasa Arab seperti di 'athf (pengedanan) ini atau di tempat-tempat lain yang banyak sekali.
SukaBalas22 April pukul 1:36

Apit Sanjaya Lalu ada ulama tertentu yang bilang ayat2 Al Qur'an tidak disusun sebagaimana seharusnya, meskipun tetap tidak mengganggu keindahannya. Kalau ketidak tersusunan itu hanya dari urutan surat saja tentu tidak masalah, namun bila itu terjadi dalam urutan ayat dalam satu surat,.saya yakin bisa menimbulkan makna yang berbeda , meskipun saya tidak paham bahasa arab.

Apit Sanjaya Juga seperti di perintah basuh tangan itu di Al Qur'an dikatakan basuh tangan sampai siku. Menurut syiah berdasar riwayat dari maksumin as. itu hanya menjelaskan area pembasuhan saja, sehingga yang benar itu arah pembasuhannya dari siku sampai telapak tangan. Itu membuktikan tanpa maksumin bisa jadi ayat2 Al Qur'an lainnya pun menyesatkan. Karena itu sudah pasti masyarakat butuh maksumin as. yang bisa ditanya, karena Al Qur'an dan riwayat2 yang bisa diperdebatkan keshahihannya, jelas belum cukup.

Sinar Agama Apit Sanjaya,:

1- Sudah saya katakan mestinya antum menghentikan masalah Qur an ini kalau mau masuk dalam masalah kandungannya karena antum sendiri mengatakan tidak tahu bahasa Arab. Emangnya Tuhan menyuruh basuh TAPAK tangan sampai siku mas?

2- Yang lain-lain antum bisa merujuk ke catatan-catatan yang sudah banyak. Antum mau ikut ulama atau Qur an (75:17) dan semacamnya silahkan saja.

3- Bahasan ini semuanya sudah keluar dari bahasan yang menjadi dakwaan antum pertama kali tentang kelantangan dan kegamblangan Qur an dalam menyuruh taat pada Ahlulbait as yang dilantangkan oleh Qur an sebagai hanya yang makshum dan diiringi dengan ayat yang melarang kita mengikuti yang tidak makshum. Jadi, saya rasa bantuan saya di tempat yang sebelumnya itu sudah dianggap cukup. Terimakasih dan wassalam.


Apit Sanjaya Ya tapi semua itu masih menimbulkan pertanyaan2 baru ustadz. Sebenarnya masih ada yang hendak tanyakan namun barangkali saya tanyakan lain kali saja. Terima kasih Ustadz.

Sinar Agama Apit Sanjaya, bertanya itu tidak bisa dihentikan. Tapi penanya dan yang ditanyakan mesti berhubungan dan berkesederajatan. Bagaimana mungkin yang tidak tahu bahasa Arab membahas isi susuran tata bahasa Arabnya Qur an dan mempertanyakannya lalu setelah diberi jawaban seperlunya mengatakan "Saya masih belum puas dan jawaban anda belum cukup"? Bagaimana yang bukan jurusan kedokteran mempertanyakan dan mempermasalahkan suatu konsep pengobatan operasi otak dengan rumus kedokterannya yang njlimet, lalu itupun setelah diberi penjelasan seperlunya mengatakan "Saya belum puas dan masih banyak pertanyaanku"?
SukaBalas23 April pukul 9:40

Apit Sanjaya Umpama seperti soal larangan taat pada yang tidak maksum. Bukankah kita wajib taat pada orang tua selama tidak memerintahkan maksiat? Padahal orang tua kita tidak maksum. Lalu soal kalimat penyucian "Sesungguhnya Allah berkehendak membersihkan kalian dari rijs wahai ahlulbait..." kalau melihat asbabun nuzul, penggunaan kata kum bukan kunna, bahwa kalimat itu terpisah waktu turunnya meskipun dalam satu ayat, itu menunjukkan istri istri Nabi tidak termasuk. Namun bila melihat penuturannya tanpa melihat itu semua, secara terjemahan, seharusnya istri2 Nabi termasuk, sebatas penglihatan saya. Sebab kalimat sebelumnya itu merupakan metode penyucian diri berupa perintah2 yang harus dikerjakan, sehingga nyambung dengan kalimat penyucian. Sehingga harusnya istri2 Nabi termasuk dalam ahlulbait, kalau tidak melihat yang lain lain itu. Saya bingungnya disitu ustadz. Harusnya penuturan itu sejalan dengan asbabun nuzulnya. Sehingga kalau benar2 istri2 Nabi dikatakan tidak ada satupun yang masuk, maka harusnya kalimat itu juga tidak berada disitu.

Apit Sanjaya Soalnya kalimat sebelum kalimat penyucian dan ayat setelahnya juga tentang istri2 Nabi.

Apit Sanjaya Lalu mengenai bahasa arab, saya juga mengalami kebingungan. Umpama kita harus mengucapkan dua kalimat syahadat, yang kalau diterjemahkan menjadi "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah."bagaimana kita mengucapkan penyaksian itu 10 kali sehari padahal kita tidak pernah menyaksikan ketika Nabi Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul, bahkan kita sendiri tidak punya kapasitas untuk mengetahui apakah seseorang itu benar2 utusan Allah atau bukan?

Sinar Agama Apit Sanjaya,:

1- Taat orang tua itu ada perintahnya tersendiri, jadi tidak sama dengan taat pada pemimpin. Karena itu syarat taat pada orang tua cukup tidak di jalan maksiat.

2- Tentang Ahlulbait itu mestinya antum belajar bahasa Arab dulu. Sebab kata innamaa itu membatalkan kata ganti sebelumnya. Karena itu tidak heran kalau antum ingin menerapkan Ahlulbait pada istri-istri Nabi saww setelah innamaa itu.

3- Tentang sebab nuzul itu antum ambil dari mana, kok main dakwa saja? Wong sudah sering saya jelaskan bahwa di shahih Muslim 'Aisyah sendiri yang mengatakan bahwa ayat pensucian itu turun untuk Nabi saww, Imam Ali as, hfh Faathimah as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.

4- Emangnya antum menyaksikan Allah? Kesaksian itu emangnya hanya dengan panca indra? Itulah mengapa ushuluddin itu tidak cukup kalau dengan taqlid.


Apit Sanjaya kalau tentang Allah tidak masalah. Yang syahadat kedua itu ustadz. Terima kasih untuk jawaban sebelumnya yang cukup menentramkan.

Sinar Agama Apit Sanjaya, kenapa tidak masalah pada Tuhan sementara pada Nabi saww bermasalah sementara dalil kebermasalahan antum sama di dalam ke duanya?

Apit Sanjaya Syahadat pertama itu adalah aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Lalu dari surat ak ikhlas dijelasin Allah itu ahad, tempat segala bergantung, dst. Lalu saya mengetahui semua di dunia ini mengikuti hukum alam dan bila Allah adalah apa yang menyebabkan hukum alam selalu berlaku, maka itu memenuhi penjelasan2 tentang mengenal Allah. Nggak perlu mikir dalem2, semua orang juga tau dunia ini bergerak mengikuti aturan tertentu, tidak sembarangan. Jadi mengucap syahadat pertama itu tidak ada masalah setitikpun. Nah soal syahadat kedua ini yang problem. Apabila kemuliaan Allah tidak memungkinkannya mengirimkan sesuatu untuk keselamatan dunia dan di akhirat, kenapa orangnya pasti Nabi Muhammad saw. Kenapa bukan Budha atau lainnya. Di dunia ini banyak sekali orang2 yang tidak maksum, tidak sempurna namun juga memberi solusi2 bagi manusia yang efektif dalam kondisi2 spesifik. Kalau ucapan syahadat itu "Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku menerima bahwa Muhammad adalah utusan Allah." itu saya masih jujur. Namun kalau saya mengucap "saya bersaksi bahwa Nabi ...." itu sudah tidak jujur karena nubuwwah agama samawi itu menurut saya masih merupakan kepercayaan. Belum hakkul yakin.

Sinar Agama Apit Sanjaya, :

1- Saya dari awal sudah mengatakan bahwa antum semestinya tidak memulai dengan menilai Qur an tanpa mengerti bahasa Arab karena akan terhempas lebih cepat dari cahaya.

2- Dengan komentar antum yang sekarang ini, maka antum menjelaskan diri antum sendiri bahwa antum "semacam" belum beriman kepada Nabi saww. Tapi antum secara lahiriah sudah bisa dikatakan muslim. Hanya pada hakikatnya, antum belum mukmin kepada Nabi saww bahwa beliau adalah utusan Tuhan. Dan secara jelas tulisan antum yang terakhir ini memberi bau dan warna kekufuran karena terlihat menggugat Tuhan mengapa Dia tidak mengutus Budha dan semacamnya. Saya anjurkan untuk segera istighfar dan memperbaharui syahadat. Tentu kalau antum mau nasihat alfaqir ini.

3- Anjuranku antum mesti belajar lagi tentang mengapa kita mesti beriman kepada Nabi saww sebagai nabi dan rasul Tuhan.

4- Saya hanya ingin memberikan kunci-kuncinya yaitu:

a- Allah sebagai Maha Hebat yang mencipta manusia, pasti memiliki hikmah kebaikan untuk manusia itu sendiri.

b- Hikmah manusia itu adalah menjadi semakin sempurna.

c- Semakin sempurna adalah mendekati Allah Yang Maha Sempurna.

d- Mendekati Allah swt mesti dengan cara yang benar.

e- Tidak ada yang tahu cara itu kecuali Tuhan yang tahu tentang manusia, potensi manusia, dunia dan akhirat manusia.

f- Karena yang tahu hanya Tuhan, maka sudah seyogyanya Dia mengajar manusia.

g- Ajaran Tuhan itulah yang dikatakan agama.

h- Agama ini bisa diturunkan langsung kepada seluruh manusia, bisa melalui malaikat dan bisa melalui sebagian manusia.

i- Diberikan langsung kepada seluruh manusia dan melalui malaikat kepada seluruh manusia, sangat tidak mungkin. Karena itu mesti melalui sebagian manusia karena satu bahasa dengan manusia lain, berbicara sesuai dengan bahasa umatnya, memberi contoh, ikut suka duka dalam mengamalkan agama dan semacamnya dari hikmah-hikmah pengajaran agama melalui para nabi/rasul as.

j- Orang yang bisa menjadi nabi/rasul, mesti makshum dari kecil. Yakni tidak melakukan kesalahan apapun. Karena yang sebaliknya, tidak akan bisa membuat yakin semua orang tentang kebenaran dan kejujurannya.

k- Orang yang telah diangkat menjadi nabi/rasul mesti memiliki bukti selain dari ketidakbersalahan sejak kecilnya itu, Bukti itu disebut dengan mukjizat.

l- Mukjizat adalah kekuatan luar biasa yang dibarengi dengan pengakuan sebagai nabi.

m- Pengakuan sebagai nabi/rasul yang membarengi mukjizat itu sangat penting karena dengannyalah dapat diyakini kebenaran kenabian dan kerasulannya. Yaitu kalau Tuhan Yang Seyogyanya Mengajar manusia itu membiarkan seseorang berbohong atas nama dirinya dengan kekuatan luar biasanya (seperti sihir), maka sudah pasti bertentangan dengan sifat AgungNya, yaitu KeMaha BijakanNya. Karena manusia akan menjadi tersesat ke jalan yang tidak benar sementara Dia Maha Tahu, Maha Kuat, Maha Bijaksana, Maha Kasih, Maha Memberi Hidayah, Maha Kasih, dan semacamnya yang tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi.

n- Nabi saww memiliki mukjizat yang banyak seperti membelah bulan, dan semacamnya. Dan ada mukijzat beliau saww yang ada sampai sekarang, yaitu kitab suci Al-Qur an. Mukjizat Qur an adalah dari sisi sastranya yang tidak bisa ditiru dan disaingi walau satu ayatnyapun dan walau seluruh manusia dan jin bersatu padu melakukannya.

o- Dengan semua isyarat dan dalil ulangan secara ringkas di atas, maka dapat diyakini tanpa harus memaksakan diri bahwa beliau saww adalah nabi/rasul secara hak.

p- Nabi saww menjadi nabi/rasul karena potensinya sendiri, bukan karena Tuhan yang menentukannya. Memang, pangkat beliau saww sebagai nabi/rasul adalah dari Tuhan dan sesuai dengan ketetapanNya. Akan tetapi potensi hingga bisa dijadikan seorang nabi/rasul olehNya, yaitu tidak melakukan kesalahan sejak dari kecil, merupakan ikhtiar dan usaha beliau saww sendiri.

q- Dengan semua penjelasan itu maka mengapa harus mengangkat Budha dan semacamnya?

r- Antum mau jujur atau tidak (ala versi antum sendiri), mau yaqin atau tidak, mau haqqulyaqin atau tidak, maka semua itu terserah pada diri antum sendiri. Karena hidup dunia-akhirat antum ada di tangan antum sendiri.


Apit Sanjaya Ya memang persoalannya ada di bahasa arabnya ustadz makanya saya bertanya pada orang yang bisa. Waktu dulu ada aswaja yang menjelaskan hal ini tapi penjelasannya tidak saya save.

Apit Sanjaya Tapi menurut saya, karena Allah Maha kuasa dan Maha segalanya, bukan tidak mungkin menurunkan agama pada seluruh manusia, malah lebih kuat hujjahnya. Umpama tiap orang dikasih mimpi ketemu Nabi saw. dan 12 Imam sehingga seluruh manusia menjadi tentram ketika mengucapkan kesaksian. Tinggal dua hal yang terjadi, ikut mimpi itu (bimbingan illahi) atau tidak ikut itu aja persoalannya. Nah sekarang agama diberikan pada manusia harus lewat orang, dengan bahasa suku tertentu, dan penyebarannya menghasilkan distorsi makna karena manusia sifatnya fragil. Sehingga ajaran agama samawi yang harusnya sama, jadi macam macam. Definisi Nabi Muhammad saw. yang harusnya satu (karena jelas orangnya hanya ada satu) jadi bermacam macam karena hadits2 yang menceritakan mengenai beliau menjadi macam macam. Otomatis kesaksian orang bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Rasulullah juga jadi bermacam macam, karena distorsi makna tadi. Di sisi lain, orang orang yang tahu betul Nabi itu orangnya seperti apa , sering bergaul dan lain2 malah berani mengkhianati. Apa mungkin seseorang yang sadar bahwa seseorang itu utusan Tuhan, berani meremas-remas agama seperti anak kecil bermain play dough sehingga cara sholat dirubah, ketetapan mengenai pengganti Nabi dirubah pembagian khumus dirubah dll? Dan mereka nampak tidak menyesal sama sekali, menurut catatan sejarah.

Apit Sanjaya Keanehannya adalah orang yang menyaksikan betul kenabian Beliau saw. tidak seyakin orang orang yang mengetahui Beliau saw. dari kabar-kabar saja.

Sinar Agama Apit Sanjaya, :

1- Kirain antum orang ilmiah yang kurang jelas. Ternyata antum rada-rada mistis. Karena Nabi saww yang hujjahnya lebih jelas dari lebih matahari si siang bolong, Qur an yang menyala walau di perut kegelapan hingga tidak bisa diingkari kebenaran dan kehebatannya, eh ...dikalahin dengan mimpin. Waduh, pusing juga nih jadinya.

2- Mimpi kok dipastikan dari Tuhan. Antum ini tambah pusing sepertinya. Makshum yang kokoh dalam mendasari kepercayaan pada para nabi-nabi dan rasul-rasul, yang hujjahnya nyata bisa menjawab semua pertanyaan yang meragukan dalam sepanjang sejarah kenabian dan kemanusiaan, eh malah ditolak, tapi mimpi yang "tidak ketahuan juntrungannya" (pinjam istilah almarhum Cak Nur pada tahun-tahun 1984-1986) yakni tidak ketahuan asal muasalnya, maka mau dipastikan petunjuk Tuhan.

3- Memang di Bandung tempat antum tinggal itu dulu ada aliran thariqat yang bahkan konon Nabi saww dan Ahlulbait as bisa didatangkan di majlis mereka. MasyaaAllah. Mistis seperti itu kok bisa diyakaini sebagai hujjah oleh mereka? Emangnya kalau mimpi Nabi saww dan Ahlulbait as maka itu pasti mereka? Kalau kita kenal wajah Nabi saww maka hal itu bisa diterima karena beliau saww mengatakan bahwa:

"Siapa yang melihat aku (baca: berwajah aku) dalam mimpinya maka itu adalah aku karena syaithan tidak bisa meniru aku (baca: wajahku)."

Tapi kalau kita tidak kenal, lalu dengan dakwa wirit-wirit tertentu dan thariqat tertentu Nabi saww atau Ahlulbait as dipanggil dan datang, maka jelas hal itu sama sekali tidak bisa diyakini pasti bahwa yang datang itu beliau saww atau Ahlulbait as. Sebab kita tidak kenal wajah mereka as, dan juga sangat sulit menerima penguasaan ruh orang lain terhadap ruh mereka as hingga ditaati dan dituruti oleh mereka as hingga datang ketika diminta datang.

4- Kalau agama lewat mimpi, ntar kalau ada pertanyaan berteriak ke Tuhan, atau ke gunung? Ra'syih.

5- Agama lewat mimpi dari Tuhan, emangnya semua orang berpotensi menjadi tamu Tuhan atau ditamui Tuhan apa? Orang penuh maksiat, orang penuh dusta, orang penuh ngarang-ngarang, orang penuh mimpi, orang penuh khayal, orang penuh cinta pada selain Tuhan, orang penuh main-main dalam hidupnya, orang penuh tidur, orang penuh kemalasan bertafakkur tiap detik, orang penuh makan dan minum serta sex, orang penuh kebodohan, orang tidak cerdas, orang pernah dusta, orang pernah maksiat dan semacamnya, bagaimana bisa menjadi tamu atau ditamui Yang Maha Suci dalam mimpinya? Makanya betul-betul antum harus merenungi sesegera mungkin poin-poin keimanan antum terhadap Nabi saww itu sebelum terlambat.

6- Ketika Tuhan sudah menyala dalam akal manusia, Nabi saww sudah menyala dalam akal manusia, Qur an dan Ahlulbait as sudah menyala dalam akal manusia, maka segala yang menyimpang setelah itu, adalah urusan manusia itu sendiri, bukan urusan Tuhan, Nabi saww, Qur an dan Ahlulbait as lagi hingga mereka yang dipertanyakan mengapa agama mereka tidak begini dan begitu, tidak diturunkan begini dan begitu? Ra'syih.

Jangankan Tuhan, Nabi saww, Qur an dan Ahlulabait as, akal sendiri memahami bahwa manakala ada kepentingan dan hawa nafsu, maka disitulah ketercemaran terjadi pada yang menyala-menyala di akal manusia itu. Karena Tuhan, Nabi saww, Qur an dan Ahlulbait as, akan dimaknai sesuai dengan kecenderungan nafsunya itu. Begitu pula manakala ada kebodohan. Yakni bicara tanpa dalil. Ketika nafsunya seperti nafsu ngomong, didahulukan dari akal argumentasinya, maka sudah pasti yang akan keluar dari lisannya adalah ketercemaran, baik mutlak (seperti kafir atau murtad) atau campuran yang diistilahkan dengan musyrik.

7- Keanehan itu justru kalau kabar argumentatif dikalahkan dengan mimpi dan memikirkan orang terdahulu sementara mengabaikan diri sendiri yang tercemar secara sangat serius. Tuhan, Nabi saww, Qur an dan Ahlulabit as memang mengabarkan kepada kita bahwa umat masa datang yang menerima agama tanpa melihat tubuh Nabi saww, adalah lebih hebat. Hal itu karena umat masa datang itu ikut akalnya, bukan ikut perasaan dan apalagi mimpi.

Namun demikian, Tuhan, Nabi saww, Qur an dan Ahlulbait as juga mengatakan bahwa betapa banyaknya manusia beriman itu musyrik seperti di QS: 12:106:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

"Dan tidak beriman dari kebanyakan mereka (yang orang beriman) itu kecuali musyrik."

Dan betapa banyaknya orang tidak menggunakan akal mereka seperti di QS: 25: 43-44:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا (43) أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (44)

"Tidakkah kamu lihat orang-orang yang menjadikan nafsunya/perasaannya sebagai tuhannya (panutan dan ikutan), apakah kamu mewakilinya? Atau kamu mengira bahwa kebanyakan mereka mendengarkan atau berakal? Mereka tidak lain seperti binatang dan bahkan lebih rendah perjalanannya/kehidupannya."

Dan betapa banyaknya ayat yang menerangkan bahwa ayat dan alam serta diri manusia itu adalah petunjuk dan hidayah, tapi bagi orang-orang berakal (bukan bernafsu), seperti di QS: 16:12:

وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

"Dan (Dia/Allah) telah menundukkan siang dan malam kepada kalian, matahari dan bulan dan bintang-bintang terkendali dengan perintahNya, sesungguhnya pada semua itu adalah ayat (tanda, bbukti, dalil) bagi orang-orang yang berakal."

Dan masih banyak ayat lain tentang hal ini, yakni tentang kemestian kita menggunakan akal dan dalil, bukan perasaan dan apalagi mimpin. Jadi, biarlah kaum yang telah lalu itu mau melakukan apa saja, sebab Nabi saww di Shaih Bukhari sudah mengatakan bahwa beliau saww tidak takut shahabat-shahabat beliau saww menjadi kafir, tapi yang ditakutkan beliau saww adalah cinta dunia dan berlomba-lomba di dalamnya (Shahih Bukhari, hadits ke: 1344, 3596, 6590, dan lain-lainnya).

Karena urusan mereka ada di tangan Tuhan, dan kita hanya bisa mengambil sejarah serta pelajaran dari apa yang terjadi pada mereka. Tapi kita memiliki tanggung jawab yang super berat yang tidak kalah beratnya dengan mereka dimana sekali saja kita lengah dan ikut perasaan serta tidak ikut argumentasi akal, maka kita akan tersungkur ke dalam jurang kegelapan yang sulit diselamatkan. Semoga kita semua terjauhkan dari jurang tanpa akal itu, karena ianya adalah penjurangan terhadap ajaran Tuhan, Nabi saww, Qur an dan Ahlulabait as.

Terlebih lagi, apa yang mau kita banggakan dan lebihkan dari orang-orang yang beriman dengan melihat Nabi saww kalau diri kita sendiri tidak haqqulyakin meyakini kenabian beliau saww?

Tambahan sikit: Kabar itu bukan kabar-kabar. Sebab kabar-kabar memiliki konotasi/pemahaman tidak kuat pemberitaannya. Sementara kabar/berita/riwayat tentang kenabian Nabi saww melebihi mutawatir yang dinukilkan dalam sepanjang sejarahnya. Terlebih buktinya yang berupa Qur an, terus menyala di tengah-tengah umat manusia sampai hari kiamat. Jadi, yang mengimani Nabi saww bukan dari kabar-kabar, apalagi dikatakan "dari kabar-kabar saja", melainkan dari kabar yang puluhan kali di atas mutawatir, bisa dicek sepanjang masa dan terbukti selalu sepanjang masa karena Qur an ada di tengah-tengah kita. S'lamat bagi yang mengikuti petunjuk.

SukaBalas123 jamTelah disunting

Apit Sanjaya Terima kasih Ustadz atas penjelasannya. Semoga Allah selalu merahmati Ustadz.
SukaBalas121 jam

Apit Sanjaya Ijin bertanya lagi ustadz. Mungkin ini yang terakhir numpang mengingat ini thread yang beda temanya. Para Imam as. kan merupakan implementasi sifat2 Allah seperti Maha Benar. Nah yang hendak saya tanyakan adalah bagaimana mungkin seseorang yang merupakan implementasi Maha Benar bertakiyah? Di buku yang saya punya, pernah beberapa orang zaidiyah datang ke Abu Abdillah as. "Orang2 berkata bahwa Anda adalah imam pengganti ayah Anda, apakah itu benar?" lalu Abu Abdillah as. berkata, " tidak itu bohong. Pergi kalian dari sini!" itu di buku sejarah para Imam Ahlulbait Syekh Mufid di bagian Imam Ja'far as shodiq as. Nah apa riwayat itu dhoif atau bagaimana, mohon pencerahannya.
SukaBalas20 jam

Sinar Agama Apit Sanjaya, Imam Makshum as itu jelas boleh bertaqiah, tapi bukan untuk diri mereka as, melainkan untuk Syi'ah-syi'ah mereka as.

Emangnya Imam Ali as yang tidak terus menerus menuntut keimamahan (sering menuntut tapi tidak terus menerus dan juga tidak dengan jalan revolusi seperti Zaid yang dijadikan imam di Zaidiyyah) dan kala menuntutnya tidak dengan revolusi, emangnya Imam Hasan as yang genjatan senjata dengan Mu'awiyyah, emangnya Imam Zaina al-'Aabidiin as dan seluruh Imam Makshum as yang tidak bangkit membuat revolusi, semua dan semua itu bukan taqiah?

Imam as bukan nabi/rasul yang sama sekali tidak boleh bertaqiah. Karena nabi/rasul adalah utusan Tuhan yang sama sekali tidak boleh diragukan dalam segala tindakannya, yakni ragu apakah ini dalam keadaan taqiah atau bukan hingga membuat keraguan pada seluruh ajarannya. Imam adalah penerus ajaran para nabi/rasul. Karena itu mereka boleh bertaqiah dan memang bertaqiah. Kebolehannya itu karena Imam yang meneruskan ajaran kerasulan, hanya diwajibkan menghalalkan dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan dan diharamkan kenabian, bukan pembuat halal dan haramnya agama (dimana kalau di sini -kenabian- ada taqiah akan membuat ajaran agama itu dari dasar akan teragukan keseluruhannya). Jadi, kewajiban Imam hanya kemakshuman dan kemakshuman adalah jauh dari dosa, sementara taqiah bukan hanya tidak dosa melainkan bisa wajib di waktu-waktu dan keadaan tertentu, misalnya menjaga nyawa umat sejagat.

Orang-orang yang datang ke Imam Ja'far as dari kalangan Zaidiyyah itu (anggap haditsnya memang benar) tidak beda dengan Mu'awiyyah yang datang ke Imam Ali as untuk berbaiat akan tetapi ditolak mentah-mentah oleh Imam Ali as. Hal itu karena Imam Ali as tahu bahwa Mu'awiyyah hanya ingin membuat peperangan dalam negeri dimana hal itu akan membuat lemahnya muslimin yang sedang panas-panasnya ditunggu oleh Persia dan Romawi yang mengancam akan menghancurkan Arab setelah wafatnya Nabi saww yang ditakuti mereka karena sihirnya (mereka mengira bahwa mukjizat Nabi saww itu adalah sihir, karena itu sekalipun sangat tersinggung waktu diajak ke Islam oleh Nabi saww dan surat beliau saww dirobek-robek sambil berjanji akan menghancurkan kerajaan Jazirah Arab -kenabian dikira kerajaan- akan tetapi mereka tetap menunggu wafatnya Nabi saww karena takut pada sihirnya -mukjizat- yang sangat terkenal karena kisah raja Abrahah yang dihujani batu neraka, takut terulang lagi).

Intinya keimamahan hanya dituntut untuk selalu taat pada agama nabi/rasul yang dikhalifahinya, karena itu hanya menghalalkan dan mengharamkan yang dihalalkan dan diharamkan sang nabi/rasul yang dikhalifahinya itu dan hanya mengamalkan ajarannya tersebut. Karena itu kalau taqiah halal dalam ajaran nabi/rasul yang dikhalifahinya itu maka jelas tidak mengapa dan tidak masalah kalau para imam penerusnya itu bertaqiah.

Namun demikian, karena kita tahu bahwa para imam itu adalah paling afdhalnya manusia setelah Nabi saww, maka jelas bahwa mereka itu sama sekali tidak akan memiliki rasa takut terhadap atau untuk diri mereka. Jadi, apapun taqiah yang dilakukan mereka as adalah demi kepentingan agama dan umat, seperti tetap terjaga oleh makshum dan semacamnya, atau supaya orang yang beriman terlindungi dari bahaya pembunuhan dan pemerkosaan.

SukaBalas18 menit

0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.